Acces2

accestrade

https://atid.me/001kbs00267l

Fiverr

https://go.fiverr.com/visit/?bta=771663&brand=fiverraffiliates

Friday 11 November 2016

PERJUANGAN YANG SUAM-SUAM KUKU: KRITIK JOHN SOBRINO ATAS GEREJA YANG (Katanya) PEDULI TERHADAP ORANG MISKIN



Fr. Loveynk Wea, C.Ss.R
Pengatar
Kemiskinan, ketidakdilan, kekerasan, dan penindasan merupakan fenomena yang melekat pada dinamika kehidupan abad modern ini. Situasi itu amat mudah dijumpai di negara-negara dunia ketiga, di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Laju kapitalisme, kediktatoran kekuasan, dan neo-kolonialisasi disinyalir sebagai biang keladi berkembangnya fenomena sosial tersebut.  Gereja adalah bagian tak terpisahkan dari realitas ini. Jika demikian, apa yang bisa dibuat Gereja terhadap situasi ini? Kabar Gembira macam apa yang akan diwartakan Gereja? Dan dapatkah Tuhan ditemukan dalam penderitaan? John Sobrino, seorang imam Yesuit adalah salah satu orang yang peka terhadap tantangan ini. Melihat kondisi carut-marut dunia yang mengancam hancurnya martabat manusia, ia mengembangkan suatu teologi untuk memperjuangkan kebebasan bagi umat manusia. Teologi ini dikenal dengan sebutan teologi pembebasan.

Gereja Kaum Miskin (di) Amerika Latin
John Sobrino lahir 27 Desember 1938 di Barcelona, Spanyol. Ia adalah seorang imam Yesuit sekaligus teolog. Sobrino terkenal karena kontribusinya terhadap perkembangan pemikiran teologi pembebasan. Ia mendapat perhatian dunia pada tahun 2007 tatkala Kongregasi Suci untuk Doktrin dan Ajaran Iman Vatikan mengeluarkan notifikasi atas doktrin-doktrinnya yang dianggap sesat dan berbahaya bagi umat beriman. Refleksi teologis John Sobrino tidak lepas dari situasi sosial, politik, maupun ekonomi negara-negara Amerika Latin, khususnya El Salvador pada dekade 1980-an. Sebagian besar penduduk negara yang terletak di Amerika Tengah itu beragama Katolik, termasuk para pemimpin politik. Ironisnya, lebih dari separuh penduduknya hidup dalam kemiskinan, penindasan, dan ketidakadilan.
            Istilah populer Karl Marx, “agama adalah candu” nyata terjadi di El Salvador. Orang miskin memiliki sejumlah sikap yang aneh dan terasa tidak masuk akal . Mereka menerima keadaan sebagai nasib dan takdir. Dalam situasi itulah, pemikiran Sobrino berkembang. Sebelum Injil ditanamkan di hati umat beriman, mereka terlebih dahulu harus dibebaskan dari belenggu penindasan, kemiskinan, maupun ketidakadilan[1]. Sepintas, kesucian dan politik adalah dua hal yang bertentangan. Kesucian itu terletak dalam wilayah doa, askese, kontemplasi, dan kemurahan hati. Sementara politik terletak dalam wilayah kepentingan dan kekuasaan yang saling berebut dan menghancurkan. Politik itu kotor, mana mungkin ia menjadi suci? Menurut John Sobrino, ide kesucian dan politik macam itu adalah a-historis, karenanya harus ditinggalkan, khususnya di negara di mana kemiskinan merajalela.
Kata Sobrino, di dunia ketiga, yang ditandai dengan kemiskinan, pelanggaran, dan penindasan hak asasi mereka yang lemah, cinta kristiani tak bisa lagi dimengerti sebagai cinta kepada Tuhan dan sesama yang melulu personal sifatnya. Cinta itu harus menjadi a political love, cinta yang berpolitik untuk membebaskan kaum miskin dari penderitaannya. Cinta politis ini sebenarnya adalah cinta Tuhan sendiri. Sebab sepanjang sejarah penyelamatan, Tuhan selalu memperlihatkan diri bukan sebagai Tuhan yang netral, tetapi Tuhan yang memihak kaum lemah. Bagi Sobrino, berteologi dimulai dari menangkap manifestasi Allah yang kita alami dalam hidup sehari-hari. Secara nyata, manifestasi itu hadir dalam jeritan orang miskin yang tertindas dan miskin[2].
Sobrino berangkat dari realitas dan masalah-masalah yang dihadapi oleh orang-orang kristiani di Amerika Latin, khususnya di El Salvador. Visi yang diusung Sobrino adalah kebangkitan Gereja. Gereja yang sejati adalah Gereja Kaum Miskin. Umat kristiani di El Salvador sebagian besar hidup dalam kemiskinan yang parah. Bagi Sobrino mereka itulah tanda-tanda zaman, tanda kehadiran Allah yang menjadi pusat dan dasar perhatian metode Sobrino. Maka, teologi seharusnya berupa refleksi atas iman kini-sini. Dengan kata lain, teologi adalah respon kini-sini akan manifestasi Allah. Bagi Sobrino, memperjuangkan keadilan adalah bentuk respon esensial atas pesan Injil terhadap situasi yang ia hadapi di El Salvador.
Sama seperti teolog pembebasan lainnya, Sobrino menempatkan Pribadi Yesus sebagai Pembebas Kaum Miskin. Sebagaimana Yesus telah mengabdi bagi orang-orang miskin, tertindas, dan tersingkir, demikianlah Injil harus diwartakan. Para teolog pembebasan berpendapat jika seseorang tidak mengalami Injil yang memihak kaum miskin, ia tidak mengerti Injil yang sesungguhnya. Cinta tidak melulu terungkap dalam kata-kata yang indah, tetapi harus nyata dalam tindakan. Cinta itu membawa keadilan penuh bagi setiap orang. Demikian juga iman. Dalam kepenuhan Injil, cinta berbicara terhadap situasi yang mengancam kehancuran martabat manusia. Jika tidak ada komitmen terhadap cinta Kristus, Injil macam apa yang diwartakan. Kerajaan Allah yang Yesus wartakan, terutama Kotbah di bukit (bdk. Mat. 5-7), menyerukan tegaknya struktur sosial yang manusiawi yang dipenuhi oleh kebenaran, keadilan, dan kasih.[3]
Dengan alasan itu, Sobrino mengadopsi analisa sosial Karl Marx sebagai sebuah metode yang digunakan sebagai salah satu cara untuk memetakan realitas yang terjadi. Teori analisa struktur sosial yang kembangkan Marx muncul dalam situasi yang serupa dengan apa yang dialami Sobrino, yakni penderitaan kaum tertindas. Teori Marx muncul sebagai reaksi atas penindasan kapitalisme. Sekitar, abad ke-19, kaum buruh mengalami penindasan akibat pemerasan tenaga oleh pemilik modal untuk menekan biaya produksi. Semakin kecil biaya produksi memungkinkan keuntungan yang lebih besar bagi pemilik modal. Sedangkan metode teologi Sobrino dilatarbelakangi oleh penderitaan yang dialami oleh penderitaan rakyat El Salvador akibat pemerintah yang korup, tidak adil, kejam, dan sewenang-wenang. Di Amerika Latin, kemartiran tidak lagi hanya dikaitkan dengan iman, tetapi lebih-lebih dengan keadilan. Ada banyak orang kristen mati dibunuh karena memperjuangkan keadilan, dan itu dikerjakan sesuai imannya. Maka kematian mereka hanya sia-sia, jika Gereja tidak memberikan mahkota tertinggi yang biasa diberikan kepada anggotanya yang telah membuktikan kesuciannya, yakni mahkota kemartiran sebagai bentuk pengormatan Gereja terhadap perjuangan mereka. Namun dengan memberi mereka mahkota kemartiran, Gereja mengakui, bukan hanya kematian demi iman tetapi kematian demi keadilanlah mahkota tertinggi bagi kesucian. Konsep kesahidan macam ini kiranya memberi sumbangan berharga bagi kehidupan beragama yakni, bukan fundamentalisme dan puritanisme pembelaan agama, melainkan politik kemanusiaan demi keadilan itulah yang mengukur, apakah orang sungguh mencapai derajat tertinggi kesempurnaan hidup beriman.

Amor Praeferentialis Pro Pauperibus
Amor Praeferentialis Pro Pauperibus, pilihan atau cinta kasih untuk mengutamakan kaum miskin[4]. Bagi John Sobrino, jiwa patriotik seorang teolog dalam menyikapi masalah kemiskinan dan penderitaan bukan terletak dalam kotbah yang menggebu-gebu tentang pengabdian dan keterlibatan langsung akan tetapi melalui kesaksian hidup (witness of life) yakni berpartisipasi dalam penderitaan dan kemiskinan rakyat kecil. Sebuah ekspresi pernyataan yang menantang. Sikap yang semestinya segera diambil sebelum dianggap “mati”. Mengambil sikap mengandaikan sebuah tanggung jawab. Untuk menjalankan cinta itu, orang perlu menjalankan metanoia (pertobatan). Namun pertobatan di sini bukan semata-mata pengakuan dosa personal, melainkan niat untuk mengenal dunia apa adanya, dan kemudian mengubahnya. Dunia itu adalah dunia, dimana mayoritas penghuninya diancam oleh penindasan dan kematian, dimana kebenaran dipenjarakan oleh kekerasan, kemiskinan, kemunduran moral serta ketidakadilan. Dalam hidup kristiani, menyangkali kesucian politik macam itu sama dengan menyangkali hidup dan pengorbanan Yesus sendiri. Sebab kematian Yesus adalah kematian demi kebenaran dan keadilan. Kalau tidak, kematian-Nya hanyalah kematian seorang penjahat, atau pengkhianat agama, atau provokator yang subversif, seperti dituduhkan lawan-lawan-Nya. Kematian-Nya demi kebenaran dan keadilan itu adalah suci. Karena itu, Allah yang benar dan adil, memahkotai kematian itu dengan kebangkitan yang memungkinkan setiap orang beriman kristiani setia pada panggilannya.
Penutup
            Sobrino tegas mengatakan bahwa perasaan cinta dan belaskasih itu bukan sebuah perasaan yang netral tetapi sikap yang mesti nyata, protes bahkan bila perlu frontal. Sebab ia menyadari bahwa penderitaan sesamanya itu ditimbulkan oleh orang lain. Dengan kata lain, masyarakat Amerika Latin itu merupakan kelompok anggota masyarakat yang tertindas dan hidup dalam kemiskinan. Sikap belas kasih yang nyata dan tidak suam-suam kuku, dilandasi oleh penghargaannya menyeluruh kepada martabat manusia.
Sobrino mengkritik Gereja Barat yang lebih mementingkan hierarki tanpa berani bertindak secara nyata terhadap kaum miskin. Gereja mesti berani hidup bersama kaum marginal dan berani untuk melawan arus. Baginya, Gereja tidak dibangun atas dasar ketakutan atas kematian Yesus tetapi atas sukacita kebangkitan.
                                               
Pustaka
Budi Hardiman, F.,
2004   Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Gramedia Pustaka, Utama, Jakarta
Hartono Budi.,
2003          Teologi, Pendidikan, dan Kebebasan, Kanisius, Yogyakarta.
Kongregasi Suci untuk Ajaran Iman
1985   Instruksi Mengenai Segi-segi Tertentu: Teologi Pembebasan, diterjemahkan oleh J. Hadiwikarta, Pr., OBOR, Jakarta.
Muller, S.J, J.J.,
1984            What They Are Saying About Theological Method?, Paulist Press, New York.
Prasetyantha, MSF, Y.B.,
            2009   Handout Metode Teologi, Fakultas Teologi-USD,    Yogyakarta.
Sobrino, J.,
1978      Christology at the Crossroads: A Latin American Approach, Orbits Book, Maryknoll.
1989      Teologi Solidaritas, diterjemahkan oleh Bosco Carvallo dari judul asli “ Theology of Christian Solidarity”, Kanisius, Yogyakarta.
Wahono Nitiprawiro, Fr.,
2000      Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya, LKis, Yogyakarta.
_________________,
            2006   Kitab Suci Deuterokanonika (cet. 24), Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta.


2. Situs
http://www.vatican.va/roman_curia/congregations/documents/rc_con_faith_doc_20061126_notification-sobrino_en.hotmail


[1] J.J. Muller, S.J, What Are They Saying About Theological Method?, Paulist Press, New York, 64.
[2] J.J. Muller, S.J, What Are They Saying About Theological Method?,66.
[3] J.J. Muller, S.J, What Are They Saying About Theological Method?,66
[4] W. Nitiprawiro, Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya, Kompas, Jakarta, 2000,27.