Fr. Loveynk Wea, C.Ss.R
Pengatar
Kemiskinan, ketidakdilan, kekerasan,
dan penindasan merupakan fenomena yang melekat pada dinamika kehidupan abad
modern ini. Situasi itu amat mudah dijumpai di negara-negara dunia ketiga, di
Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Laju kapitalisme, kediktatoran kekuasan, dan
neo-kolonialisasi disinyalir sebagai biang keladi berkembangnya fenomena sosial
tersebut. Gereja adalah bagian tak
terpisahkan dari realitas ini. Jika demikian, apa yang bisa dibuat Gereja
terhadap situasi ini? Kabar Gembira macam apa yang akan diwartakan Gereja? Dan
dapatkah Tuhan ditemukan dalam penderitaan? John Sobrino, seorang imam Yesuit
adalah salah satu orang yang peka terhadap tantangan ini. Melihat kondisi
carut-marut dunia yang mengancam hancurnya martabat manusia, ia mengembangkan
suatu teologi untuk memperjuangkan kebebasan bagi umat manusia. Teologi ini
dikenal dengan sebutan teologi pembebasan.
Gereja
Kaum Miskin (di) Amerika Latin
John Sobrino lahir 27 Desember 1938 di
Barcelona, Spanyol. Ia adalah
seorang imam Yesuit sekaligus teolog. Sobrino terkenal karena kontribusinya
terhadap perkembangan pemikiran teologi pembebasan. Ia mendapat perhatian dunia
pada tahun 2007 tatkala Kongregasi Suci untuk Doktrin dan Ajaran Iman Vatikan
mengeluarkan notifikasi atas doktrin-doktrinnya yang dianggap sesat dan
berbahaya bagi umat beriman. Refleksi teologis John Sobrino tidak lepas dari
situasi sosial, politik, maupun ekonomi negara-negara Amerika Latin, khususnya
El Salvador pada dekade 1980-an. Sebagian besar penduduk negara yang terletak
di Amerika Tengah itu beragama Katolik, termasuk para pemimpin politik.
Ironisnya, lebih dari separuh penduduknya hidup dalam kemiskinan, penindasan,
dan ketidakadilan.
Istilah populer
Karl Marx, “agama adalah candu” nyata terjadi di El Salvador. Orang miskin memiliki sejumlah sikap
yang aneh dan terasa tidak masuk akal . Mereka menerima keadaan sebagai nasib
dan takdir. Dalam situasi itulah, pemikiran Sobrino berkembang.
Sebelum Injil ditanamkan di hati umat beriman, mereka terlebih dahulu harus
dibebaskan dari belenggu penindasan, kemiskinan, maupun ketidakadilan[1].
Sepintas, kesucian dan
politik adalah dua hal yang bertentangan. Kesucian itu terletak dalam wilayah
doa, askese, kontemplasi, dan kemurahan hati. Sementara politik terletak dalam
wilayah kepentingan dan kekuasaan yang saling berebut dan menghancurkan.
Politik itu kotor, mana mungkin ia menjadi suci? Menurut John Sobrino, ide
kesucian dan politik macam itu adalah a-historis,
karenanya harus ditinggalkan, khususnya di negara di mana kemiskinan
merajalela.
Kata Sobrino, di dunia
ketiga, yang ditandai dengan kemiskinan, pelanggaran, dan penindasan hak asasi
mereka yang lemah, cinta kristiani tak bisa lagi dimengerti sebagai cinta
kepada Tuhan dan sesama yang melulu personal sifatnya. Cinta itu harus menjadi a political love, cinta yang berpolitik
untuk membebaskan kaum miskin dari penderitaannya. Cinta politis ini sebenarnya
adalah cinta Tuhan sendiri. Sebab sepanjang sejarah penyelamatan, Tuhan selalu
memperlihatkan diri bukan sebagai Tuhan yang netral, tetapi Tuhan yang memihak
kaum lemah. Bagi Sobrino, berteologi dimulai dari menangkap
manifestasi Allah yang kita alami dalam hidup sehari-hari. Secara nyata,
manifestasi itu hadir dalam jeritan orang miskin yang tertindas dan miskin[2].
Sobrino berangkat
dari realitas dan masalah-masalah yang dihadapi oleh orang-orang kristiani di
Amerika Latin, khususnya di El Salvador. Visi yang diusung Sobrino adalah
kebangkitan Gereja. Gereja yang sejati adalah Gereja Kaum Miskin. Umat
kristiani di El Salvador sebagian besar hidup dalam kemiskinan yang parah. Bagi
Sobrino mereka itulah tanda-tanda zaman, tanda kehadiran Allah yang menjadi
pusat dan dasar perhatian metode Sobrino. Maka, teologi seharusnya berupa
refleksi atas iman kini-sini. Dengan kata lain, teologi adalah respon kini-sini
akan manifestasi Allah. Bagi Sobrino, memperjuangkan keadilan adalah bentuk
respon esensial atas pesan Injil terhadap situasi yang ia hadapi di El
Salvador.
Sama seperti teolog pembebasan lainnya,
Sobrino menempatkan Pribadi Yesus sebagai Pembebas Kaum Miskin. Sebagaimana
Yesus telah mengabdi bagi orang-orang miskin, tertindas, dan tersingkir,
demikianlah Injil harus diwartakan. Para teolog pembebasan berpendapat jika
seseorang tidak mengalami Injil yang memihak kaum miskin, ia tidak mengerti
Injil yang sesungguhnya. Cinta tidak melulu terungkap dalam kata-kata yang
indah, tetapi harus nyata dalam tindakan. Cinta itu membawa
keadilan penuh bagi setiap orang. Demikian juga iman. Dalam kepenuhan Injil,
cinta berbicara terhadap situasi yang mengancam kehancuran martabat manusia.
Jika tidak ada komitmen terhadap cinta Kristus, Injil macam apa yang
diwartakan. Kerajaan Allah yang Yesus wartakan, terutama Kotbah di bukit (bdk.
Mat. 5-7), menyerukan tegaknya struktur sosial yang manusiawi yang dipenuhi
oleh kebenaran, keadilan, dan kasih.[3]
Dengan alasan itu, Sobrino mengadopsi
analisa sosial Karl Marx sebagai sebuah metode yang digunakan sebagai salah
satu cara untuk memetakan realitas yang terjadi. Teori analisa struktur sosial
yang kembangkan Marx muncul dalam situasi yang serupa dengan apa yang dialami
Sobrino, yakni penderitaan kaum tertindas. Teori Marx muncul sebagai reaksi
atas penindasan kapitalisme. Sekitar, abad ke-19, kaum buruh mengalami
penindasan akibat pemerasan tenaga oleh pemilik modal untuk menekan biaya
produksi. Semakin kecil biaya produksi memungkinkan keuntungan yang lebih besar
bagi pemilik modal. Sedangkan metode teologi Sobrino dilatarbelakangi oleh
penderitaan yang dialami oleh penderitaan rakyat El Salvador akibat pemerintah yang
korup, tidak adil, kejam, dan sewenang-wenang. Di Amerika Latin, kemartiran tidak lagi hanya
dikaitkan dengan iman, tetapi lebih-lebih dengan keadilan. Ada banyak orang
kristen mati dibunuh karena memperjuangkan keadilan, dan itu dikerjakan sesuai
imannya. Maka kematian mereka hanya sia-sia, jika Gereja tidak memberikan
mahkota tertinggi yang biasa diberikan kepada anggotanya yang telah membuktikan
kesuciannya, yakni mahkota kemartiran sebagai bentuk pengormatan Gereja
terhadap perjuangan mereka. Namun dengan memberi mereka mahkota kemartiran,
Gereja mengakui, bukan hanya kematian demi iman tetapi kematian demi
keadilanlah mahkota tertinggi bagi kesucian. Konsep kesahidan macam ini kiranya
memberi sumbangan berharga bagi kehidupan beragama yakni, bukan fundamentalisme
dan puritanisme pembelaan agama, melainkan politik kemanusiaan demi keadilan
itulah yang mengukur, apakah orang sungguh mencapai derajat tertinggi
kesempurnaan hidup beriman.
Amor Praeferentialis Pro Pauperibus
Amor Praeferentialis Pro Pauperibus,
pilihan atau cinta kasih untuk mengutamakan kaum miskin[4]. Bagi John Sobrino, jiwa
patriotik seorang teolog dalam menyikapi masalah kemiskinan dan penderitaan
bukan terletak dalam kotbah yang menggebu-gebu tentang pengabdian dan
keterlibatan langsung akan tetapi melalui kesaksian hidup (witness of life) yakni berpartisipasi dalam penderitaan dan
kemiskinan rakyat kecil. Sebuah ekspresi pernyataan yang menantang. Sikap yang
semestinya segera diambil sebelum dianggap “mati”. Mengambil sikap mengandaikan
sebuah tanggung jawab. Untuk menjalankan cinta itu, orang perlu menjalankan
metanoia (pertobatan). Namun pertobatan di sini bukan semata-mata pengakuan
dosa personal, melainkan niat untuk mengenal dunia apa adanya, dan kemudian
mengubahnya. Dunia itu adalah dunia, dimana mayoritas penghuninya diancam oleh
penindasan dan kematian, dimana kebenaran dipenjarakan oleh kekerasan,
kemiskinan, kemunduran moral serta ketidakadilan. Dalam hidup kristiani,
menyangkali kesucian politik macam itu sama dengan menyangkali hidup dan
pengorbanan Yesus sendiri. Sebab kematian Yesus adalah kematian demi kebenaran
dan keadilan. Kalau tidak, kematian-Nya hanyalah kematian seorang penjahat,
atau pengkhianat agama, atau provokator yang subversif, seperti dituduhkan
lawan-lawan-Nya. Kematian-Nya demi kebenaran dan keadilan itu adalah suci.
Karena itu, Allah yang benar dan adil, memahkotai kematian itu dengan
kebangkitan yang memungkinkan setiap orang beriman kristiani setia pada
panggilannya.
Penutup
Sobrino tegas mengatakan bahwa perasaan cinta dan belaskasih
itu bukan sebuah perasaan yang netral tetapi sikap yang mesti nyata, protes
bahkan bila perlu frontal. Sebab ia menyadari bahwa penderitaan
sesamanya itu ditimbulkan oleh orang lain. Dengan kata lain, masyarakat Amerika
Latin itu merupakan kelompok anggota masyarakat yang tertindas dan hidup dalam
kemiskinan. Sikap belas kasih yang nyata dan tidak suam-suam kuku, dilandasi
oleh penghargaannya menyeluruh kepada martabat manusia.
Sobrino
mengkritik Gereja Barat yang lebih mementingkan hierarki tanpa berani bertindak
secara nyata terhadap kaum miskin. Gereja mesti berani hidup bersama kaum
marginal dan berani untuk melawan arus. Baginya, Gereja tidak dibangun atas
dasar ketakutan atas kematian Yesus tetapi atas sukacita kebangkitan.
Pustaka
Budi
Hardiman, F.,
2004 Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai
Nietzsche, Gramedia Pustaka, Utama, Jakarta
Hartono Budi.,
2003
Teologi,
Pendidikan, dan Kebebasan, Kanisius, Yogyakarta.
Kongregasi Suci untuk Ajaran Iman
1985 Instruksi
Mengenai Segi-segi Tertentu: Teologi Pembebasan, diterjemahkan oleh J.
Hadiwikarta, Pr., OBOR, Jakarta.
Muller, S.J, J.J.,
1984
What They Are
Saying About Theological Method?, Paulist Press, New York.
Prasetyantha, MSF, Y.B.,
2009 Handout Metode Teologi, Fakultas Teologi-USD, Yogyakarta.
Sobrino, J.,
1978
Christology
at the Crossroads: A Latin American Approach, Orbits Book, Maryknoll.
1989
Teologi Solidaritas, diterjemahkan
oleh Bosco Carvallo dari judul asli “ Theology of Christian Solidarity”,
Kanisius, Yogyakarta.
Wahono Nitiprawiro, Fr.,
2000
Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya, LKis,
Yogyakarta.
_________________,
2006 Kitab Suci Deuterokanonika (cet. 24), Lembaga
Alkitab Indonesia, Jakarta.
2. Situs
http://www.vatican.va/roman_curia/congregations/documents/rc_con_faith_doc_20061126_notification-sobrino_en.hotmail
[1] J.J. Muller, S.J, What
Are They Saying About Theological Method?, Paulist Press, New York, 64.
[2] J.J. Muller, S.J, What
Are They Saying About Theological Method?,66.
[3] J.J. Muller, S.J, What
Are They Saying About Theological Method?,66
[4] W. Nitiprawiro, Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode,
Praksis, dan Isinya, Kompas, Jakarta, 2000,27.