Acces2

accestrade

https://atid.me/001kbs00267l

Fiverr

https://go.fiverr.com/visit/?bta=771663&brand=fiverraffiliates

Saturday, 7 March 2015

Allah Mencintai Semua Orang


Lukas 15:1-3.11-32
Injil hari ini mengisahkan sebuah perumpamaan yang sudah sangat familiar di telinga kita. Anak yang hilang kembali ke rumah bapanya dan diterima dengan sukacita, sementara kakaknya cemburu terhadap apa yang dibuat ayahnya untuk menyambut adiknya yang kembali ke rumah.

Baiklah kita melihat sekilas teks Lukas hari ini. Dikatakan bahwa anak yang lebih muda, meminta harta yang menjadi bagiannya, menukarnya dengan uang kontan, kemudian pergi ke daerah yang jauh dan mengahabiskan uangnya. Setelah uangnya habis, ia menjadi kelaparan dan bekerja sebagai penjaga babi. Dalam pekerjaan barunya inilah, dia mulai merefleksikan dan membandingkan kehidupannya sekarang dan di masa lalu. Keputusannya jelas: pulang ke rumah dengan segala konsekuensinya.
Pulangnya si bungsu (anak yang lebih muda) sering ditafsirkan sebagai sebuah bentuk pertobatan. Sebenarnya tidak sesederhana itu. Motivasi si bungsu pulang ke rumah bukan untuk mohon ampun melainkan karena dia sekarang bukanlah siapa-siapa dibandingkan dengan orang upahan ayahnya. Derajatnya turun jauh, dari seorang anak kaya menjadi seorang penjaga babi (hewan najis dalam budaya yahudi). Keadaanlah yang menuntunnya untuk membuat keputusan kembali ke rumah. Andai saja, hartanya masih stabil, tidak mungkin ada keinginan untuk pulang. Hal ini terbukti dari tidak sekalipun si bungsu memikirkan ayahnya pada saat sedang banyak uang.
Perihal pilihan si bungsu untuk pulang dan menjadi upahan bapanya terkait dengan pembagian warisan dalam tradisi Yahudi. Dalam tradisi Yahudi, warisan dibagikan setelah kepala keluarga meninggal dan juga bisa dibuat selama ayahnya masih hidup. Namun pembagian itu akan berlaku setelah ayahnya meninggal. Selama ayahnya masih hidup, semua harta itu masih menjadi bagian ayahnya. Dengan menuntut harta yang menjadi bagiannya dan meninggalkan ayahnya, si bungsu sebenarnya sudah berdosa. Dalam tradisi Yahudi anak harus berbakti kepada orangtuanya seperti yang dilakukan anak sulung. Setelah kehabisan uang si bungsu sadar, bahwa ia tidak dapat melaksanakan kewajibannya untuk menjaga ayahnya di hari tuanya. Dalam artian inilah ia merasa berdosa terhadap ayahnya.
Si sulung dalam perumpamaan ini memandang dirinya sebagai orang yang paling berhak untuk mendapatkan harta warisan ayahnya. Ditambah lagi dia telah mengabdi kepada ayahnya selama ini. Dalam konteks inilah, si sulung menyamakan dirinya dengan hamba ayahnya, namun tidak pernah sekalipun diadakan pesta untuknya yang setiap hari hidup dengan ayahnya.
Si sulung dan si bungsu sama-sama memandang diri mereka sebagai orang upahan ayahnya dan sebagai orang berdosa. Peran sentral yang mau ditunjukan dalam perumpamaan ini sebenarnya adalah sang ayah itu sendiri. Ayah ini mengundang kedua anaknya untuk meninggalkan pandangan tentang diri mereka sendiri sebagai orang “upahan.” Rumusan permintaan maaf yang sudah disiapkan oleh si bungsu pun dipotong oleh ayahnya dengan sebuah rangkulan kasih dan sebuah penerimaan yang mewah. Si sulung juga disadarkan bahwa dia bukanlah buruh yang perlu digaji. Haknya sama dengan ayahnya. Saudaranya yang baru pulang bukan hanya anak ayahnya melainkan juga adiknya sendiri. Jadi dia seharusnya bersukacita, sama seperti ayahnya. Kalau ia tidak mampu bersuka cita, maka ia bukan hanya tidak bisa menerima adiknya sebagai saudaranya sendiri, melainkan sekaligus menolak ayahnya.
Pada titik ini, sang ayah tidak lagi peduli akan motivasi yang mendorong anaknya pulang. Ia juga tidak mengucapkan sepatah kata pengampunan. Ayah dalam perumpamaan hari ini hanya mementingkan satu hal: anaknya selamat dan kembali ke rumah. Alasan ini menjadi dasar dari semua penerimaan dan kasih yang diterima si bungsu. Ayahnya sama sekali tidak pernah memutus hubungannya dengan anaknya. Ayahnya masih tetap mencintai anaknya walau anaknya lari dari rumah dan menghabiskan harta milikya.
Kisah ini sebenarnya dekat dengan kenyataan hidup kita sehari-hari. Kita terkadang merasa paling benar dan memandang orang lain berdosa dan hina, melihat orang lain bukan sebagai anak Allah. Jika hal ini yang terjadi maka, kita tidak dapat menjadi “anak Bapa” selama kita tidak mau ikut serta dalam kasih Bapa dengan mengasihi saudara kita, terutama mereka yang mempunyai kesalahan dengan melanggar peraturan-peraturan agama. Allah adalah kasih dan Dia tetap mencintai semua orang tanpa pandang bulu. Allah mencintai orang berdosa dan orang benar. Jika ada orang berdosa yang kembali ke “rumah” maka kita diajak untuk ikut serta bersuka cita karenanya. (IG)