Lukas 15:1-3.11-32
Injil
hari ini mengisahkan sebuah perumpamaan yang sudah sangat familiar di telinga
kita. Anak yang hilang kembali ke rumah bapanya dan diterima dengan sukacita,
sementara kakaknya cemburu terhadap apa yang dibuat ayahnya untuk menyambut adiknya
yang kembali ke rumah.
Baiklah
kita melihat sekilas teks Lukas hari ini. Dikatakan bahwa anak yang lebih muda,
meminta harta yang menjadi bagiannya, menukarnya dengan uang kontan, kemudian
pergi ke daerah yang jauh dan mengahabiskan uangnya. Setelah uangnya habis, ia
menjadi kelaparan dan bekerja sebagai penjaga babi. Dalam pekerjaan barunya
inilah, dia mulai merefleksikan dan membandingkan kehidupannya sekarang dan di
masa lalu. Keputusannya jelas: pulang ke rumah dengan segala konsekuensinya.
Pulangnya
si bungsu (anak yang lebih muda) sering ditafsirkan sebagai sebuah bentuk
pertobatan. Sebenarnya tidak sesederhana itu. Motivasi si bungsu pulang ke rumah
bukan untuk mohon ampun melainkan karena dia sekarang bukanlah siapa-siapa
dibandingkan dengan orang upahan ayahnya. Derajatnya turun jauh, dari seorang
anak kaya menjadi seorang penjaga babi (hewan najis dalam budaya yahudi). Keadaanlah
yang menuntunnya untuk membuat keputusan kembali ke rumah. Andai saja, hartanya
masih stabil, tidak mungkin ada keinginan untuk pulang. Hal ini terbukti dari
tidak sekalipun si bungsu memikirkan ayahnya pada saat sedang banyak uang.
Perihal
pilihan si bungsu untuk pulang dan menjadi upahan bapanya terkait dengan
pembagian warisan dalam tradisi Yahudi. Dalam tradisi Yahudi, warisan dibagikan
setelah kepala keluarga meninggal dan juga bisa dibuat selama ayahnya masih
hidup. Namun pembagian itu akan berlaku setelah ayahnya meninggal. Selama ayahnya
masih hidup, semua harta itu masih menjadi bagian ayahnya. Dengan menuntut
harta yang menjadi bagiannya dan meninggalkan ayahnya, si bungsu sebenarnya
sudah berdosa. Dalam tradisi Yahudi anak harus berbakti kepada orangtuanya
seperti yang dilakukan anak sulung. Setelah kehabisan uang si bungsu sadar,
bahwa ia tidak dapat melaksanakan kewajibannya untuk menjaga ayahnya di hari
tuanya. Dalam artian inilah ia merasa berdosa terhadap ayahnya.
Si
sulung dalam perumpamaan ini memandang dirinya sebagai orang yang paling berhak
untuk mendapatkan harta warisan ayahnya. Ditambah lagi dia telah mengabdi
kepada ayahnya selama ini. Dalam konteks inilah, si sulung menyamakan dirinya
dengan hamba ayahnya, namun tidak pernah sekalipun diadakan pesta untuknya yang
setiap hari hidup dengan ayahnya.
Si
sulung dan si bungsu sama-sama memandang diri mereka sebagai orang upahan ayahnya
dan sebagai orang berdosa. Peran sentral yang mau ditunjukan dalam perumpamaan
ini sebenarnya adalah sang ayah itu sendiri. Ayah ini mengundang kedua anaknya
untuk meninggalkan pandangan tentang diri mereka sendiri sebagai orang “upahan.”
Rumusan permintaan maaf yang sudah disiapkan oleh si bungsu pun dipotong oleh
ayahnya dengan sebuah rangkulan kasih dan sebuah penerimaan yang mewah. Si sulung
juga disadarkan bahwa dia bukanlah buruh yang perlu digaji. Haknya sama dengan
ayahnya. Saudaranya yang baru pulang bukan hanya anak ayahnya melainkan juga
adiknya sendiri. Jadi dia seharusnya bersukacita, sama seperti ayahnya. Kalau ia
tidak mampu bersuka cita, maka ia bukan hanya tidak bisa menerima adiknya
sebagai saudaranya sendiri, melainkan sekaligus menolak ayahnya.
Pada
titik ini, sang ayah tidak lagi peduli akan motivasi yang mendorong anaknya
pulang. Ia juga tidak mengucapkan sepatah kata pengampunan. Ayah dalam perumpamaan
hari ini hanya mementingkan satu hal: anaknya selamat dan kembali ke rumah. Alasan
ini menjadi dasar dari semua penerimaan dan kasih yang diterima si bungsu. Ayahnya
sama sekali tidak pernah memutus hubungannya dengan anaknya. Ayahnya masih
tetap mencintai anaknya walau anaknya lari dari rumah dan menghabiskan harta
milikya.
Kisah
ini sebenarnya dekat dengan kenyataan hidup kita sehari-hari. Kita terkadang
merasa paling benar dan memandang orang lain berdosa dan hina, melihat orang
lain bukan sebagai anak Allah. Jika hal ini yang terjadi maka, kita tidak dapat
menjadi “anak Bapa” selama kita tidak mau ikut serta dalam kasih Bapa dengan
mengasihi saudara kita, terutama mereka yang mempunyai kesalahan dengan
melanggar peraturan-peraturan agama. Allah adalah kasih dan Dia tetap mencintai
semua orang tanpa pandang bulu. Allah mencintai orang berdosa dan orang benar. Jika
ada orang berdosa yang kembali ke “rumah” maka kita diajak untuk ikut serta
bersuka cita karenanya. (IG)