[Allison A.
Trites]
Allison A. Trites mengawali tulisannya[1]
ini dengan tiga pertanyaan, antara lain; 1) isu yang diperdebatkan dalam injil
Yohanes [identitas Yesus sebagai Mesias, Anak Allah]; 2) partisipan debat [Yesus
melawan orang Yahudi]; dan 3) hasil perdebatan [diharapkan para lawan Yesus (iodaioi)
membuat putusan pribadi untuk menerima dan mengimani Yesus sebagai Mesias, Anak
Allah. Untuk mencapai putusan pribadi ini, penginjil Yohanes menampilkan
berbagai kesaksian tentang apa yang diimaninya dalam keseluruhan injilnya,
dengan harapan para lawan debat akhirnya ‘juga percaya’ (19:35).
Mengenai motif penulisan injil Yohanes dalam 20:31, Trites
menampilkan pendapat beberapa ahli, antara lain; 1) bagi C.F.D. Moule, kalau
hanya dilihat dari 20:31, tampak bahwa motifnya adalah meneguhkan iman umat
yang sudah percaya, tetapi kalau dilihat injil Yohanes secara keseluruhan,
injil ini lebih sebagai sebuah apologi, sehingga tentu ditujukan bagi para
lawan debat; 2) bagi W. C. van Unnik, selain bab 13-17, injil Yohanes lebihsebagai sebuah buku misi untuk memenangkan para lawan menjadi pengikut Yesus;dan 3) bagi E. Renan, injil Yohanes ingin meyakinkan para lawan bahwa Yesuslah
Mesias, Anak Allah. Dari beberapa pendapat, juga dengan penelitian yang
mendalam atas teks Yohanes, Trites berkesimpulan bahwa injil Yohanes lebih
berkarakter yuridis/hukum. Lebih tepatnya, motif ditulis injil Yohanes, yakni
perdebatan antara Yesus dan orang Yahudi (iodaioi), bagi Trites
merupakan suatu ‘perkara hukum’, yang mana terdapat dalam keseluruhan injil
Yohanes.
Dalam bab 1-12, ada ‘persaingan’ (G. Johnston), juga ada
‘penolakan sungguh-sungguh’ (F. G. Burkit) dari para lawan. Karena itu, Trites
mengatakan bahwa bagian ini menggunakan ‘bahasa kehakiman’ yang melukiskan
pertentangan antara Allah Inkarnasi (Yesus) dan dunia (orang Yahudi-iodaioi)
– mirip dengan Yes 40-55 yang menampilkan pertentangan antara YaHWeH dan allah
bangsa kafir. Kemiripannya, yaitu ada persoalan yang diangkat, lalu
dikembangkan argumennya, dengan tujuan menantang para lawan dengan cara
menampilkan berbagai kesaksian. Namun, perbedaannya, yaitu dasar argumen orang
Yahudi adalah hukum, sedangkan Yesus tampil dalam kesaksian Yohanes Pembaptis,
Sabda dan karya-Nya, dan kesaksian Kitab Suci.
Terkait dengan kesaksian ini, penginjil Yohanes sangat menghormati
hukum Perjanjian Lama tentang saksi yang valid (Ul 19:15), yaitu dua atau lebih
orang saksi: misalnya dua kesaksian dari Yohanes Pembaptis dan para murid
pertama (bab 1), tanda dengan dua saksi independen (bab 2), kesaksian Yohanes
(bab 5), dan dua malaikat di kubur (bab 20). Penghormatan yang sangat terhadap
kesahihan hukum PL ini mengindikasikan bahwa penginjil mempunyai
persoalan/kekhawatiran terkait pembuktian. Bahkan deklarasi tentang diri Yesus
punt tidak akan valid jika tanpa konfirmasi (5:31-32). Hal ini ditegaskan dalam
8:17, sekaligus membuktikan bahwa perkara di sini merupakan perkara hukum.
Klimaks dari perkara hukum ini adalah pengadilan di hadapan Pilatus
(bab 18-19). Di sini terdapat paradoks, yakni kematian Yesus membuat dia
menang atas perkara-Nya sekaligus mengalahkan dunia (bdk. 16:36). Yesus
menang karena kematian-Nya (SAAT pemuliaan-Nya) menarik semua orang pada-Nya (bdk.
12:28,32).
Selanjutnya, bab 13-17 berbicara mengenai perkara hukum
sesudah kebangkitan, yaitu berbicara tentang masa depan para rasul. Setelah
pemuliaan dan pengagungan Kristus, perkara hukum berlanjut dengan pembenaran
sabda dan karya-Nya, tetapi bukan Kristus sebagai saksi utama, melainkan Roh
Kudus (Advocate), yang mana Ia juga memanggil penginjil dan saksi
manusia lain, dengan dua peran, yaitu sekaligus sebagai saksi dan advokat. Roh
Kudus disebut Parakleitos, yaitu istilah untuk menyebut pembela dalam
pengadilan, yang bertugas meyakinkan lawan, sekaligus sebagai saksi yang
berperan membuktikan kebenaran suatu kasus dengan fakta-fakta (bdk Yes
43:9).
Trites setuju dengan Peder Borgen yang melihat kesamaan ide
penginjil tentang misi Kristus sebagai agen Allah dan agen halakhic, antara
lain; 1) kesatuan antara agen dan pengutus; meskipun 2) agen lebih rendah; 3)
ketaatan agen pada kehendak pengutus; 4) tugas agen dalam perkara hukum;
5) kepulangan dan laporan kembali pada pengutus; dan 6) memanggil agen lain
sebagai perluasan misinya dalam ruang dan waktu. Trites menegaskan bahwa
kesamaannya tampak dalam konteks perkara hukum, seperti dalam bab 20-21,
yaitu tuntutan dan hukuman agen diterima dari superior. Perkara hukum ini
secara eksplisit diungkapkan dalam pembicaraan tentang pengadilan Akhir Zaman
(5:27), yaitu peran yuridis Kristus sebagai hakim: yang menolak firman Yesus,
dihakimi oleh firman-Nya itu (12:48).
Singkatnya, mengutip ide J. C. Hindley, Trites mengatakan bahwa
ketika Yesus berbicara mengenai asal-Nya, Dia tidak hanya menyingkapkan
relasi-Nya dengan Bapa, tetapi juga Dia sedang menghadirkan suatu kebenaran
sebagai tantangan untuk membuat putusan. Sabda-Nya bukan semata suatu
pernyataan tegas, melainkan sekaligus berpengaruh eksistensial bagi mereka yang
mendengarkan-Nya (8:46), yakni bertujuan mengubah onus probandi lawan.
Jadi, sampai di sini tampak jelas bahwa motif penginjil Yohanes
menggunakan tata/perkara hukum dalam menyusun injilnya adalah agar kesaksiannya
itu valid[2],
sehingga para lawannya berhasil diyakinkan (convinced) bahwa Yesus-lah
Mesias, Anak Allah. Dengan demikian mereka tidak lagi tinggal dalam kegelapan,
tetapi dalam Terang (12:46).
[1] Allison A.
Tirtes, The New Testament Concept of Witness, Cambridge University
Press, USA 1997, 78-123.
[2] Nuansa ‘perkara
hukum ini’ pun tampak dalam penggunaan diksi oleh penginjil, antara lain; ‘hakim’,
‘alasan’, ‘keputusan/pertimbangan’, ‘menuduh’, ‘menyalahkan’, ‘terdakwa’, dan ‘meyakinkan’.