Acces2

accestrade

https://atid.me/001kbs00267l

Fiverr

https://go.fiverr.com/visit/?bta=771663&brand=fiverraffiliates

Tuesday 30 July 2019

KONSEP KESAKSIAN DALAM INJIL YOHANES



[Allison A. Trites]

Allison A. Trites mengawali tulisannya[1] ini dengan tiga pertanyaan, antara lain; 1) isu yang diperdebatkan dalam injil Yohanes [identitas Yesus sebagai Mesias, Anak Allah]; 2) partisipan debat [Yesus melawan orang Yahudi]; dan 3) hasil perdebatan [diharapkan para lawan Yesus (iodaioi) membuat putusan pribadi untuk menerima dan mengimani Yesus sebagai Mesias, Anak Allah. Untuk mencapai putusan pribadi ini, penginjil Yohanes menampilkan berbagai kesaksian tentang apa yang diimaninya dalam keseluruhan injilnya, dengan harapan para lawan debat akhirnya ‘juga percaya’ (19:35).
Mengenai motif penulisan injil Yohanes dalam 20:31, Trites menampilkan pendapat beberapa ahli, antara lain; 1) bagi C.F.D. Moule, kalau hanya dilihat dari 20:31, tampak bahwa motifnya adalah meneguhkan iman umat yang sudah percaya, tetapi kalau dilihat injil Yohanes secara keseluruhan, injil ini lebih sebagai sebuah apologi, sehingga tentu ditujukan bagi para lawan debat; 2) bagi W. C. van Unnik, selain bab 13-17, injil Yohanes lebihsebagai sebuah buku misi untuk memenangkan para lawan menjadi pengikut Yesus;dan 3) bagi E. Renan, injil Yohanes ingin meyakinkan para lawan bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah. Dari beberapa pendapat, juga dengan penelitian yang mendalam atas teks Yohanes, Trites berkesimpulan bahwa injil Yohanes lebih berkarakter yuridis/hukum. Lebih tepatnya, motif ditulis injil Yohanes, yakni perdebatan antara Yesus dan orang Yahudi (iodaioi), bagi Trites merupakan suatu ‘perkara hukum’, yang mana terdapat dalam keseluruhan injil Yohanes.
Dalam bab 1-12, ada ‘persaingan’ (G. Johnston), juga ada ‘penolakan sungguh-sungguh’ (F. G. Burkit) dari para lawan. Karena itu, Trites mengatakan bahwa bagian ini menggunakan ‘bahasa kehakiman’ yang melukiskan pertentangan antara Allah Inkarnasi (Yesus) dan dunia (orang Yahudi-iodaioi) – mirip dengan Yes 40-55 yang menampilkan pertentangan antara YaHWeH dan allah bangsa kafir. Kemiripannya, yaitu ada persoalan yang diangkat, lalu dikembangkan argumennya, dengan tujuan menantang para lawan dengan cara menampilkan berbagai kesaksian. Namun, perbedaannya, yaitu dasar argumen orang Yahudi adalah hukum, sedangkan Yesus tampil dalam kesaksian Yohanes Pembaptis, Sabda dan karya-Nya, dan kesaksian Kitab Suci.
Terkait dengan kesaksian ini, penginjil Yohanes sangat menghormati hukum Perjanjian Lama tentang saksi yang valid (Ul 19:15), yaitu dua atau lebih orang saksi: misalnya dua kesaksian dari Yohanes Pembaptis dan para murid pertama (bab 1), tanda dengan dua saksi independen (bab 2), kesaksian Yohanes (bab 5), dan dua malaikat di kubur (bab 20). Penghormatan yang sangat terhadap kesahihan hukum PL ini mengindikasikan bahwa penginjil mempunyai persoalan/kekhawatiran terkait pembuktian. Bahkan deklarasi tentang diri Yesus punt tidak akan valid jika tanpa konfirmasi (5:31-32). Hal ini ditegaskan dalam 8:17, sekaligus membuktikan bahwa perkara di sini merupakan perkara hukum.
Klimaks dari perkara hukum ini adalah pengadilan di hadapan Pilatus (bab 18-19). Di sini terdapat paradoks, yakni kematian Yesus membuat dia menang atas perkara-Nya sekaligus mengalahkan dunia (bdk. 16:36). Yesus menang karena kematian-Nya (SAAT pemuliaan-Nya) menarik semua orang pada-Nya (bdk. 12:28,32).
Selanjutnya, bab 13-17 berbicara mengenai perkara hukum sesudah kebangkitan, yaitu berbicara tentang masa depan para rasul. Setelah pemuliaan dan pengagungan Kristus, perkara hukum berlanjut dengan pembenaran sabda dan karya-Nya, tetapi bukan Kristus sebagai saksi utama, melainkan Roh Kudus (Advocate), yang mana Ia juga memanggil penginjil dan saksi manusia lain, dengan dua peran, yaitu sekaligus sebagai saksi dan advokat. Roh Kudus disebut Parakleitos, yaitu istilah untuk menyebut pembela dalam pengadilan, yang bertugas meyakinkan lawan, sekaligus sebagai saksi yang berperan membuktikan kebenaran suatu kasus dengan fakta-fakta (bdk Yes 43:9).
Trites setuju dengan Peder Borgen yang melihat kesamaan ide penginjil tentang misi Kristus sebagai agen Allah dan agen halakhic, antara lain; 1) kesatuan antara agen dan pengutus; meskipun 2) agen lebih rendah; 3) ketaatan agen pada kehendak pengutus; 4) tugas agen dalam perkara hukum; 5) kepulangan dan laporan kembali pada pengutus; dan 6) memanggil agen lain sebagai perluasan misinya dalam ruang dan waktu. Trites menegaskan bahwa kesamaannya tampak dalam konteks perkara hukum, seperti dalam bab 20-21, yaitu tuntutan dan hukuman agen diterima dari superior. Perkara hukum ini secara eksplisit diungkapkan dalam pembicaraan tentang pengadilan Akhir Zaman (5:27), yaitu peran yuridis Kristus sebagai hakim: yang menolak firman Yesus, dihakimi oleh firman-Nya itu (12:48).
Singkatnya, mengutip ide J. C. Hindley, Trites mengatakan bahwa ketika Yesus berbicara mengenai asal-Nya, Dia tidak hanya menyingkapkan relasi-Nya dengan Bapa, tetapi juga Dia sedang menghadirkan suatu kebenaran sebagai tantangan untuk membuat putusan. Sabda-Nya bukan semata suatu pernyataan tegas, melainkan sekaligus berpengaruh eksistensial bagi mereka yang mendengarkan-Nya (8:46), yakni bertujuan mengubah onus probandi lawan.
Jadi, sampai di sini tampak jelas bahwa motif penginjil Yohanes menggunakan tata/perkara hukum dalam menyusun injilnya adalah agar kesaksiannya itu valid[2], sehingga para lawannya berhasil diyakinkan (convinced) bahwa Yesus-lah Mesias, Anak Allah. Dengan demikian mereka tidak lagi tinggal dalam kegelapan, tetapi dalam Terang (12:46).


[1] Allison A. Tirtes, The New Testament Concept of Witness, Cambridge University Press, USA 1997, 78-123.
[2] Nuansa ‘perkara hukum ini’ pun tampak dalam penggunaan diksi oleh penginjil, antara lain; ‘hakim’, ‘alasan’, ‘keputusan/pertimbangan’, ‘menuduh’, ‘menyalahkan’, ‘terdakwa’, dan ‘meyakinkan’.