Acces2

accestrade

https://atid.me/001kbs00267l

Fiverr

https://go.fiverr.com/visit/?bta=771663&brand=fiverraffiliates

Wednesday, 2 August 2023

Hari Orang Muda Sedunia Tahun 2023 dibuka di Lisbon

 Hari Orang Muda Sedunia ke-37 dimulai dengan Misa yang dipimpin oleh Kardinal Patriark Lisbon, yang memberikan kesempatan kepada ratusan ribu orang muda untuk saling berbagi pengalaman iman.

Dalam kepenuhan kegembiraan, hari pertama Wolrd Youth Day diakhiri dengan musik yang diputar hingga larut malam. Misa pembukaan yang diadakan di Taman Edward VII Lisbon pada hari Selasa, 1 Agustus, mengumpulkan para peziarah dari seluruh penjuru dunia.


Misa Pembukaan

Misa pembukaan Hari Orang Muda Sedunia menjadi kesempatan penting bagi para peziarah untuk berkumpul bersama dalam doa; setelahnya mereka bertukar kisah tentang alasan berpartisipasi dalam acara luar biasa ini.

Patriark Kardinal Lisbon dengan hangat menyambut semua yang hadir dengan berseru "selamat datang!" (selamat datang). Ia memusatkan homilinya pada tema tahun ini,"Maria bangkit dan pergi dengan tergesa-gesa".

Kardinal Manuel Clemente menekankan bahwa semua yang hadir sedang dalam perjalanan, yang mungkin menantang karena jarak, koneksi, dan biaya yang diperlukan untuk perjalanan tersebut. Terlepas dari kendala ini, dia menekankan pentingnya memulai perjalanan seperti itu, menyamakannya dengan perjalanan hidup, di mana setiap hari menghadirkan kisah baru.

“Lisbon menyambut Anda dengan sepenuh hati,” kata Kardinal Clemente, menawarkan pelukan hangat kepada semua yang hadir.

Untuk mereka yang tidak bisa hadir

Bagi banyak peserta, ini menandai babak baru dan bermakna dalam hidup mereka. Adanna dan Francis, yang selalu bijaksana, mengakui banyak peziarah dan orang muda yang tidak dapat bergabung dengan mereka di Lisbon karena jarak dan biaya yang harus dikeluarkan.

"Nigeria jauh dan perjalanannya mahal," kata Adanna. Namun, mereka sangat yakin bahwa teman-teman orang muda katolik yang tidak bisa datang ke Lisbon, hadir dalam roh, dan semua yang berkumpul di Lisbon berdoa untuk orang muda katolik di seluruh dunia. Peserta yang hadir dengan rendah hati juga meminta doa dari semua orang muda katolik di dunia.

Saat Hari Orang Muda Katolik Sedunia ini berlangsung, suasana persatuan, iman, dan pertukaran budaya akan menumbuhkan kenangan dan persahabatan abadi di antara komunitas orang muda katolik sedunia.

Semangat belas kasih, pengertian, dan kebersamaan akan bergema jauh melampaui peristiwa penting ini, membawa perjumpaan dengan Kristus, yang merupakan inti dari Hari Orang Muda Sedunia, ke seluruh penjuru dunia.


Monday, 31 July 2023

Renungan Harian Katolik, 3 Agustus 2023 - Lolos Seleksi

Hari biasa Pekan XVII 

Bacaan Ekaristi: 

Kel. 40:16-21,34-38; 

Mzm. 84:3,4,5-6a,8a,11; 

Mat. 13:47-53.

… lalu duduklah mereka dan mengumpulkan ikan yang baik ke dalam tempayan dan ikan yang tidak baik mereka buang. (Matius 13:48b)

Injil Matius 13:47-53 mengisahkan perumpamaan tentang jala besar yang ditebarkan di laut dan menangkap banyak ikan. Setelah jala itu penuh, para nelayan membawa jala itu ke pantai dan memilah-milah ikan yang terjaring di dalam jala itu. Ikan yang jelek dibuang dan ikan yang baik disimpan.

Bacaan Injil hari ini mengajarkan beberapa pesan penting untuk kehidupan kita: Pertama, Kerajaan Allah terbuka bagi semua orang. Para murid Kristus layaknya para nelayan mewartakan kabar sukacita ke seluruh dunia tanpa pandang bulu. Gambaran laut di sini identik dengan dunia. Semua orang diundang untuk duduk bersama Yesus dalam perjamuan surgawi. Kedua, dalam perjalanannya, tidak semua orang yang mendengar kabar sukacita itu menanggapi dengan benar dan berperilaku sesuai dengan ajaran Kristus. Ada yang hanya mendengar kabar sukacita Injil dan tidak menanggapinya, bahkan ada yang sama sekali tidak mau mendengar kabar sukacita Injil itu. Ketiga, adalah masa seleksi pada hari penghakiman. Pada momen ini, semua orang, baik yang mendengar Sabda Yesus lalu melaksanakannya ataupun yang tidak peduli, semuanya dikumpulkan, namun langsung dipisahkan sesuai dengan perbuatannya di dunia. Yang baik masuk surga, yang jahat masuk neraka. Kita kelompok yang mana?

Sebagai Murid Kristus, kita diberikan kemampuan untuk mengetahui maksud dan rencana Allah. Bagaimana caranya agar kita bisa lolos seleksi pada masa penghakiman? Mendekatkan diri pada Yesus dengan membaca Sabda Allah dan hidup berdasarkan ajaran Kristus. Pada titik ini, penting bagi kita untuk hidup sebagai saksi Kristus: para nelayan dalam perumpamaan ini bertugas menarik jala dan menangkap ikan. Demikian pula, sebagai umat Katolik, kita dipanggil untuk menjadi saksi Kristus di dunia ini. Melalui kehidupan kita yang baik dan pelayanan kepada sesama, kita dapat menebar jalan dan menarik orang-orang masuk ke dalam Kerajaan Allah.

Kita diajak untuk merenungkan kembali status kita sebagai murid Kristus. Sudah siapkah kita untuk memperkuat iman dan menerapkan ajaran-Nya dalam setiap aspek hidup kita? Sudah pantaskah kita untuk melewati seleksi hari penghakiman? Semoga Bacaan Injil hari ini menjadi inspirasi bagi kita untuk terus bertumbuh dalam kasih Allah, menjadi saksi Kristus, serta hidup dengan bijaksana dan penuh harap sampai masa penghakiman tiba.

https://atid.me/001kbs00267l

Friday, 9 June 2023

PENANGGALAN LITURGI 2024 B/II

Berikut adalah link download Penanggalan Liturgi untuk tahun 2024. 

GERAKAN EKUMENIS DI BIDANG LITURGI SESUDAH KONSILI VATIKAN II

 Oleh Bernardus Boli Ujan, SVD


Asas-asas

Gerakan  ekumenis yang sebenarnya sudah muncul sebelum konsili Vatikan II telah turut menginspirasi para bapa Konsili untuk menyelenggarakan konsili dalam semangat ekumenis dan merumuskan dekrit Unitatis Redintegratio (UR) yang memberi asas-asas untuk lebih mempromosikan gerakan pembaharuan ini sesudah Konsili Vatikan II. Asas-asas gerakan ekumene menurut dekrit Unitatis Redintegratio yang dikeluarkan pada 21 Nopember 1964 oleh bapa-bapa  konsili antara lain menyadari tujuan kedatangan Yesus Putera Tunggal Bapa dalam naungan Roh Kudus yaitu untuk mewahyukan kesatuan dan kasih Allah Tritunggal kepada manusia (UR, 2) agar bersama Yesus Kristus manusia bersatu dengan yang lain dan bersama-sama kembali bersatu lebih erat dengan Allah Pencipta dan Penyelamat. Selanjutnya semua pihak yang telibat dalam gerakan ekumene harus mengakui perpecahan sebagai skandal lalu menyatakan penyesalan dan bertobat (UR, 1) sekaligus menyadari persatuan sebagai kekuatan dalam upaya mewartakan dan memberi kesaksian tentang Kerajaan Allah. Maka gerakan ekumene menuntut para pengikut Kristus rela dan berani menghindarkan “penilaian dan perbuatan yang tidak sesuai dengan keadaan yang wajar dan benar” dari saudara yang terpisah dan membuat dialog (UR, 4) dalam semangat kasih sejati dengan saling menghargai, saling menerima perbedaan sebagai kekayaan perspektif dan bukan sebagai dasar perpecahan satu dengan yang lain. Secara praktis keterlibatan dalam gerakan ekumenis ini menuntut berbagai pihak yang mengalami dan mewarisi perpecahan untuk bekerjasama dan saling membantu serta saling melengkapi dalam kehidupan dan karya nyata.


Hasil Nyata: Konstitusi Liturgi

Khususnya dalam bidang liturgi semangat saling membantu dan kerjasama untuk saling melengkapi telah tampak dampaknya dalam rumusan konstitusi tentang liturgi kudus, Socrasanctum Concilium (SC). Konstitusi liturgi telah menegaskan inti pokok misteri keselamatan yang mempersatukan dalam setiap perayaan liturgi, yaitu misteri Paskah yang telah direncanakan oleh Allah Bapa dan diwujudnyatakan oleh Yesus Kristus dengan penderitaan, kematian dan kebangkitan-Nya demi kemuliaan Allah dan keselamatan semua makluk ciptaan termasuk umat manusia (SC, 5). Sangat disadari juga pentingnya daya pengudusan Allah Roh Kudus (SC, 43) serta peran Sabda Allah (SC, 24) yang membarui dan mempersatukan semua orang. Deklarasi tentang Hari Raya Paskah (Tambahan Deklarasi, 1-2) dan perayaan tahun liturgi (SC, 102-111), serta kasih Allah Tritunggal yang dirayakan dalam ibadat, juga satu-satunya pengantara Yesus Kristus dalamnya para kudus khususnya Perawan Maria Bunda Allah dan bunda kita mengambil bagian, merupakan hasil nyata dari dialog penuh kasih yang mempersatukan. Keterbukaan terhadap agama dan keyakinan non Kristiani serta kerelaan membuat penyesuaian liturgi dengan tradisi budaya, keyakinan dan situasi orang-orang setempat (SC, 37-40) adalah juga hasil dialog dengan berbagai pihak yang turut memberi warna khas  kepada gerakan ekumenis dan liturgi sesudah konsili Vatikan II.

Kemungkinan-kemungkinan

Berdasarkan pengalaman pastoral dan studi dalam pertemuan-pertemuan ekumenis sesudah konsili Vatikan II, pada tahun 1967 dikeluarkan direktorium communicatio in sacris yang mengatur kemungkinan-kemungkinan untuk mengalami dan menyaksikan kesatuan umat beriman Kristiani (Gereja Katolik Roma, Gereja-gereja Timur, Protestan) melalui ibadat dan perayaan sakrammen-sakramen. Khususnya dalam sakramen pembaptisan, ekaristi, perkawinan, pengurapan orang sakit dan ibadat umum diuraikan apa saja yang dapat dilakukan bersama dan apa saja yang perlu dihindarkan. (P. Tamburrino, “Ecumenismo” dalam Nuovo Dizionario di Liturgia, a cura di Domenico Srtore e Achille M.Triacca, edizioni Paoline, Roma, 1984, hlm. 418-427).


Contoh Para Paus

Paus Paulus VI melaksanakan pesan-pesan konsili antara lain dengan membina hubungan yang baik penuh penghargaan dan saling pengertian di antara Gereja Katolik dan saudara saudari dari Gereja Timur. Saling mengunjungi dan berada di tempat ibadat dari Gereja Timur serta memanjatkan doa bagi pimpinan dan umat Gereja tersebut atau sebaliknya telah menunjukkan itikad baik untuk saling meneguhkan dalam ziarah menuju sumber dan pusat pemersatu semua umat beriman  yaitu Yesus Kristus Putra Tunggal Allah Bapa dalam persatuan dengan Roh Kudus. Semangat yang sama diteruskan dan ditumbuhkan oleh Paus Yohanes Paulus II yang banyak sekali membuat kunjungan pastoral dan ekumenis ke seluruh dunia. Paus Benedictus XVI dan Paus Fransiskus turut berperan aktif menumbuhkan semangat ekumenis di antara saudara saudari yang beriman dalam Tritunggal maha kudus.

Semua Paus pasca Vatikan II mendukung gerakan “pekan doa bagi persatuan semua umat beriman”, yang sudah dimulai pada awal abad 20, baik dalam persiapan maupun dalam pelaksanaannya selama sepekan dari tanggal 18 Januari sampai 25 Januari setiap tahun. Utusan dari berbagai Gereja bekerjasama mempersiapkan teks doa untuk persatuan-persaudaraan umat beriman dengan tema dan ujud-ujud sesuai konteks. Bahan doa ini tidak hanya dipakai pada pekan doa sedunia (18-25 Januari) tetapi dapat pula dipakai di luar masa itu.


Kesaksian Societas Liturgica

Salah satu gerakan ekumenis dalam liturgi dimulai oleh seorang pendeta bernama Wiebe Vos dari Belanda. Ia mewujudkan impiannya agar para liturgist kristiani (Protestan, Anglikan, Gereja Katolik, Gereja-gereja Timur) membentuk satu paguyuban untuk bekerjasama membuat penelitian dan studi demi mengembangkan liturgi sebagai kesempatan untuk mengungkapkan dan membina serta mendoakan persatuan umat beriman. Wiebe Vos ketika masih berumur 26 tahun, telah bercita-cita membentuk kerjasama para liturgist lintas agama-denominasi sebagaimana tampak dalam isi surat yang ditulis dan dikirim kepada para profesor liturgi ternama waktu itu di Amerika dan Eropa. Maka dalam kerjasama dengan para profesor itu terbitlah untuk pertama kali pada 1962, di tengah konsili ekumenis Vatikan II, majalah Studia Liturgica yang berisi artikel-artikel tentang liturgi sebagai hasil studi dan penelitian mereka.

Akhirnya pada tahun 1967 dibuatlah kongres para liturgist untuk pertama kali di Driebergen (Belanda) dan dibentuk paguyuban dengan nama Societas Liturgica. Badan pengurusnya terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara dan anggota-anggota dewan. Tugas Badan Pengurus adalah merencanakan dan menyelenggarakan kongres setiap dua tahun. Anggota Societas Liturgica pada tahun-tahun terakhir sekitar 350-400 orang. Biasanya dalam Kongres  mereka berpartisipasi aktip dengan menyampaikan ceramah utama bagi semua peserta atau mempresentasikan dalam kelompok hasil penelitian tentang topik tertentu yang berkaitan dengan tema umum dari Kongres. Keragaman cara pendekatan dan pengalaman-pengalaman khas dalam setiap Agama-denominasi dengan latarbelakang konteks yang unik turut membantu memperluas wawasan peserta Kongres untuk semakin memahami dan menghargai satu sama lain.

Beberapa tema yang digeluti selama decade terakhir dalam Kongres ekumenis Societas Liturgica adalah Liturgi yang Menyembuhkan (Dresden, Jerman 2005), Liturgi di Tempat Umum (Palermo, Italia 2007), Inkulturasi Tahun Liturgi (Sydney, Australia 2009), Liturgi Inisiasi (Rheims, Perancis 2011), Pembaruan Liturgi (Wuerzburg, Jerman 2013, sambil mengenangkan 50 tahun konstitusi liturgi Sacrosanctum Concilium), Pendidikan Liturgi (Quebec, Kanada 2015 untuk merayakan 25 tahun Kongres Societas Liturgica). Dalam Kongres terakhir bulan Agutus 2017 di Leuven, anggota Societas Liturgica mengenangkan 500 tahun pembaruan Gereja oleh Martin Luther sekaligus merayakan 50 tahun berdirinya Societas Liturgica. Pada kesempatan itu para peserta mendalami dan mendiskusikan tema: Simbol tentang Diri Kita, Perspektif Liturgis dari Sakramen. Selama 6 hari (07-12 Agustus) diberikan 6 ceramah utama untuk umum dan 72 presentasi topik penelitian khusus dalam kelompok. Peserta dari Indonesia membawakan hasil penelitian khusus dalam salah satu kelompok di bawah judul: Simbol-simbol Rekonsiliasi Inkulturatif di Indonesia. Inillah salah satu cara mencapai tujuan Societas Liturgica sedunia yang ekumenis sebagaimana dihimbau oleh pimpinan umum Societas Liturgica periode 2015-2017, Martin Stuflesser, dalam sambutan awal Kongres, yaitu membangun dialog tentang pemahaman dan praktek liturgi di antara berbagai penganut Agama-denominasi dalam semangat ekumenis dan kasih persaudaraan.

Dokumen Lima

Pada tahun 1982 di Lima, Peru dibuat pertemuan ekumenis komisi Faith and Order dari World Council of Churches (WCC) yang menghasilkan dokumen tentang Pembaptisan, Ekaristi dan Pelayanan yang disebut “Naskah Lima”. Naskah ini merupakan hasil diskusi lintas Agama-denominasi selama 50 tahun. Rumusannya memperlihatkan pemahaman yang disepakati bersama tentang Pembaptisan, Ekaristi dan Pelayanan. Komisi Faith and Order dari WCC menyebarkan “Naskah Lima” ini dan mengharapkkan tanggapan resmi dari masing-masing Gereja-denominasi. Sejauh mana tiap Gereja-denominasi mengenal pokok-pokok iman yang ada dalam sejarah tumbuh-kembangnya dan konsekuensinya dalam dialog dengan Gereja-denominasi lain yang mengakui ungkapan iman dalam naskah ini sebagai kebenaran iman rasuli yang akhirnya menjadi bahan untuk menyusun ibadat, pembinaan, etika dan hidup rohani serta kesaksian iman. Diharapkan usul saran resmi dari masing-masing Gereja-denominasi untuk kerja Komisi Faith and Order ke depan dalam menyusun satu ungkapan bersama dewasa ini dari iman rasuli.          

Semua Gereja-denominasi yang menerima “Naskah Lima” mengakui pembaptisan sebagai sakramen yang mempersatukan para pengikut Yesus Kristus, karena memiliki pemahaman makna pembaptisan dan tata perayaan pembaptisan yang kurang lebih sama, terutama tentang hal-hal pokok yang menjamin sahnya pembaptisan. Karena itu ada kesepakatan untuk saling mengakui sahnya pembaptisan Gereja-denominasi yang lain. Kesepakatan tentang Ekarisi berkaitan dengan pembentukan Ekaristi, maknanya dan tata perayaan serta unsur-unsurnya.

Ekaristi merupakan perayaan syukur kepada Bapa, kenangan akan Kristus, doa memohon turunnya Allah Roh Kudus, perjamuan kerajaan serta komuni kaum beriman. Ada juga kesepakatan tentang pelayanan (kepemimpinan) dalam Gereja-denominasi,  yaitu mengenai makna kepemimpinan apostolik berdasarkan tradisi apostolik, bentuk dan tugas-wewenangnya, tahbisan serta kemungkinan pengakuan satu sama lain terhadap kepemimpinan yang ada.

Dokumen Lima ini menunjukkan kesungguhan upaya masing-masing Gereja-denominasi untuk menemukan pokok-pokok paham yang sama dan menyelaraskan satu dengan yang lain seraya menerima perbedaan-perbedaan paham dan praktek yang ada sebagai unsur-unsur khusus yang saling memperkaya. Dengan demikian persatuan lebih diutamakan demi berhasilnya pewartaan Kabar Gembira dan semakin terwujudnya Kerajaan Allah.  

Upaya Gereja-denominasi di Indonnesia

Patut kita syukuri upaya-upaya Gereja-denominasi di Indonesia dalam memajukan gerakan ekumenis khususnya dalam bidang ibadat-liturgi. Perlu kita catat misalnya kerjasama ekumenis antara KWI dan PGI dalam menyusun pesan Natal bersama setiap tahun yang disebarkan ke semua Gereja-denominasi sebelum perayaan Natal yang mendorong kerjasama umat beriman demi persatuan persaudaraan. Persiapan dan penyelenggaraan perayaan Natal ekumenis turut memberi kesaksian yang kuat di bumi Indonesia tentang semangat persatuan persaudaraan dalam keanekaan dan cinta damai serta toleransi di tengah situasi dendam-benci penuh ancaman radikalisme eklusif. Secara khusus selama pekan doa sedunia pada tgl 18-25 Januari setiap tahun banyak kelompok umat di Indonesia terlibat aktif dalam doa untuk persatuan umat beriman. Tampak juga kerjasama dalam bidang pewartaan antara lain dengan pertukaran para pengkotbah, penyebaran bahan dan isi pewartaan melalui percetakan, mass media dan medsos, penyelenggaraan seminar bersama untuk mendalami topik-topik yang berkaitan dengan agama dan iman.

Di tingkat akar rumput terjadi kerja sama nyata dalam membangun tempat ibadat masing-masing Gereja-denominasi bahkan di wilayah tertentu ada kerjasama membangun gedung ibadat ekumenis yang dapat digunakan oleh kelompok umat berbeda satu sesudah yang lain. Demi menjamin kelanjutan gerakan ekumenis, di banyak tempat kita alami besarnya perhatian pada kelompok umat yang masih muda dan kecil dengan memperluas wawasan mereka dan memupuk saling pengertian melalui pertukaran para dosen dan mahasiswa atau guru dan siswa. Ada juga penyelenggaraan pengajaran dan pendidikan bersama-sama di universitas, sekolah tinggi, sekolah menengah dan sekolah dasar yang sama dengan tujuan membina sikap terbuka dan saling menghargai perbedaan seraya mengusahakan bersama persatuan persaudaraan sejak usia dini.

Ibadat ekumenis mendorong umat Kristiani untuk bekerjsama dalam pelayanan-pengabdian di tengah masyarakat demi kepentingan umum: keamanan dan ketertiban, kerja bakti untuk kelestarian lingkungan hidup, olah raga, rekreasi bersama. Khususnya kerjasama untuk melayani dan membantu kelompok-kelompok yang terpinggirkan, seperti orang sakit, para jompo, narapidana, orang yang berkebutuhan khusus, kaum miskin dan yang menderita ketidakadilan atau yang lain. Kerja sama seperti ini mengarahkan perhatian umat beriman lebih kepada hal-hal dan kesempatan yang mempersatukan seraya yakin akan keselamatan yang dianugerahkan Allah kepada semua orang baik untuk sementara selama hidup di dunia ini maupun untuk selamanya di akhirat nanti.   

Doa Bersama Lintas Agama dan Doa Multi-Agama

Dalam kesempatan ibadat yang dihadiri oleh penganut berbagai agama, Dewan Kepausan untuk Dialog Antarumat Beragama (DKDAB) memberikan pedoman yang perlu diperhatikan dalam menyelenggarakan doa ekumenis. Dalam hal ini harus dibedakan “doa bersama lintas agama” dan “doa multi-agama”. Istilah yang pertama, “doa bersama lintas agama” artinya “terlibat bersama-sama di dalam sebuah doa yang dihadiri oleh umat dari berbagai agama”. Kemungkinan pertama ini perlu dihindari menurut DKDAB dalam pedoman Dialog Dalam Kebenaran dan Kasih, no. 82. Tuntutan utama untuk terlibat dalam doa bersama adalah iman yang sama akan Allah. Hal ini tak terpenuhi kalau para pemeluk masing-masing agama mempunyai keyakinan iman yang berbeda tentang Allah.

 

Dalam kesempatan ibadat bersama dapat diselenggarakan kemungkinan kedua yaitu “doa multi-agama” yang berarti “para penganut berbagai agama berkumpul bersama untuk berdoa bersama-sama bagi sebuah intensi khusus … doa ini menekankan aspek kehadiran selama doa berlangsung, tetapi bukan untuk berdoa bersama-sama” (Dialog Dalam Kebenaran dan Kasih, no. 83). Hal ini telah ditegaskan oleh Paus Yohanes Paulus II setelah para pemimpin agama-agama di dunia bertemu dan berdialog di Assisi 1986, katanya: “Tentu saja kita tidak bisa ‘berdoa bersama’, yang berarti terlibat aktif di dalam sebuah doa bersama lintas agama, akan tetapi kita bisa menghadiri kegiatan doa dari pemeluk-pemeluk agama lain. Melalui cara ini kita mengungkapkan rasa hormat kita terhadap doa umat beragama lain, dan terhadap tata cara mereka berdoa di hadapan Yang Ilahi. Pada saat yang sama kita juga memberikan sebuah kesaksian yang sahaja dan jujur kepada mereka tentang iman kita akan Kristus, Tuhan semesta alam.” (John Paul II, General Audience, 22 October 1986). 

Monday, 13 June 2022

TONGKAT GEMBALA USKUP

Tongkat sebagai lambang liturgi para uskup dan abbas berasal dari abad ketujuh menurut beberapa sumber Spanyol, meskipun penggunaannya mungkin lebih tua. Tampaknya Tongkat sebagai simbol otoritas episkopal akan berpindah dari Semenanjung Iberia ke Inggris, ke Galia, ke Jerman. Namun, dari uraian Misa Kepausan dalam Ordines Romani (Ordinal Romawi), penggunaannya tidak disebutkan. Potret para paus juga menegaskan bahwa tongkat gembala bukan bagian dari lambang kepausan, karena orang tidak melihatnya dalam artefak ikongrafis yang dibuat di Roma. Oleh karena itu, Paus Innosensius III (wafat 1216) menulis dalam karyanya De Sacro altaris mysterio (“Mengenai Misteri Suci Altar,” I, 62): “Paus Roma tidak menggunakan tongkat gembala.”

Alasan mengapa Paus tidak menggunakan tongkat itu terletak pada kenyataan bahwa tongkat adalah lambang penobatan seorang uskup yang baru terpilih yang diberikan kepadanya oleh Uskup Agung Metropolitan atau oleh Uskup lain (sebuah upacara yang berlangsung dari periode Karoling sampai masa kontroversi penobatan semakin dilakukan oleh penguasa sekuler). Paus, bagaimanapun, tidak menerima penobatan dari uskup lain, seperti yang ditunjukkan Bernardo Botono dari Parma (wafat 1263) dalam Glossa Ordinaria dei Decretali di Gregorio IX (“The Ordinary Glosses of the Dekrit Gregory IX,” 15): Paus menerima kekuasaannya dari Tuhan saja. Santo Thomas Aquinas memberikan alasan lebih lanjut, ketika dia berkomentar bahwa: “Paus Roma tidak menggunakan tongkat . . . karena itu adalah tanda kekuasaan yang terbatas, yang menandakan kelengkungan tongkat” (Super Sent., lib. 4 d. 24 q. 3 a. 3 ad 8). Di sini, Santo Thomas mengacu pada bentuk tongkat yang sampai sekarang biasa dipelintir di bagian atas, sebagai tanda perawatan pastoral dan yurisdiksi. 

Selengkapnya Klik Di SINI

Tuesday, 30 July 2019

Berani menjadi Pemimpi



Bertolak dari kisah yusuf, menjadi pemimpi bukanlah hal yang buruk. Yusuf kecil dengan segala keluguannya menyampaikan isi mimpinya kepada saudara-saudaranya dan juga kepada ayahnya. Mimpi pertamanya belumlah mengusik. Mimpi keduanya mengusik semua orang. Bagaimana tidak, Yusuf mengatakan bahwa Ayahnya dan saudara-saudaranya akan berlutut di hadapan kakinya. Mimpi yang aka menjadi kenyataan di kemudian hari kan ?
    Sekarang, mari kita lihat makna dan pesan Alllah di balik kisah Yusuf. Yusuf seorang pemimpi. Mimpi bagi kebanyakan orang tidak berguna dan bermanfaat karena kita hidup di dunia yang sangat mengapresiasi hasil bukan rencana. Orang tidak akan peduli pada mimpi atau rencana kita. Orang hanya akan mengatakan itu sebagai sebuah wacana, sebuah ide yang baru masuk dalam konteks perencanaan. Tetapi kalau mau jujur, kita semua pernah bermimpi kan? Atau ada di antara kita yan melewati malam-malamnya dengan tidur tanpa mimpi. Mimpi dalam konteks kali ini akan kita perluas dalam konteks cita-cita. Kita semua punya cita-cita?
Pertama-tama, tidak semua dari kita seperti yusuf, berani menyampaikan mimpi kita kepada keluarga, dan juga kepada teman-teman. Kita takut dianggap tukang membual.
Kedua, andai mimpi itu disampaikan, kita takut tidak mendapat dukungan.
Ketiga, kita takut disebut sebagai hanya omongannya yang besar, hasilnya tidak ada saat mimpi itu hanya sekadar mimpi, tanpa hasil.
Yusuf, sudah melakukan langkah awal. Dia punya mimpi. Mimpi itu dia sampaikan kepada orang lain. Selebihnya apa yang mau dibuat oleh Yusuf ? tidak ada! Yusuf sunggu mempercayakan hidupnya ke tangan Allah. Dalam hal ini, bentuk penyelengaraan ilahi sangat berperan besar dalam perwujudan mimpi Yusuf. Kita kadang dalam mewujudkan mimpi, lupa akan bantuan Allah. Saking sibuknya, kita kadang lupa berdoa. Bisa-bisa juga kita lupa bagaimana caranya berdoa.
Yusuf dalam kisah selanjutnya tidak takut menafsirkan mimpi Firaun. Lalu berani membuat perencanaan penanggulangan kelaparan yang akan melanda. Mimpi pada titik ini juga membutuhkan usaha dan keberanian. Keberaniaan untuk mengambil tantangan. Keberanian untuk berbenah dan keberanian untuk menunjukkan potensi dari mimpi yang akan kita wujudkan.
Di lain pihak, mari kita berada di posisi saudara-saudara Yusuf yang tidak senang dengan mimpi yang dikatakan Yusuf, lalu membencinya, dan berencana untuk melenyapkannya. Kita juga dalam hidup sehari-hari, kadang membeneci orang lain saat baru pertama kali bertemu. Apalagi saat kita mendengar cita-citanya yang bagi kita mustahil untuk dicapai. Dari sini kita diajak untuk memberi apresiasi yang tinggi untuk usaha dan mimpi setiap dari kita. Kita diajak untuk saling mendukung. Bila perlu, kita membantu saudara kita dlm mewujudkan mimpinya.
Secara sederhana, dari kisah Yusuf ini, kita belajar untuk berani bermimpi, menyampaikan mimpi itu, percaya pada penyelenggaraan Allah akan usaha dan mimpi kita, dan akhirnya mewujudkannya dalam usaha yang nyata serta berani menghadapi segala resiko dan tantangan.

KONSEP KESAKSIAN DALAM INJIL YOHANES



[Allison A. Trites]

Allison A. Trites mengawali tulisannya[1] ini dengan tiga pertanyaan, antara lain; 1) isu yang diperdebatkan dalam injil Yohanes [identitas Yesus sebagai Mesias, Anak Allah]; 2) partisipan debat [Yesus melawan orang Yahudi]; dan 3) hasil perdebatan [diharapkan para lawan Yesus (iodaioi) membuat putusan pribadi untuk menerima dan mengimani Yesus sebagai Mesias, Anak Allah. Untuk mencapai putusan pribadi ini, penginjil Yohanes menampilkan berbagai kesaksian tentang apa yang diimaninya dalam keseluruhan injilnya, dengan harapan para lawan debat akhirnya ‘juga percaya’ (19:35).
Mengenai motif penulisan injil Yohanes dalam 20:31, Trites menampilkan pendapat beberapa ahli, antara lain; 1) bagi C.F.D. Moule, kalau hanya dilihat dari 20:31, tampak bahwa motifnya adalah meneguhkan iman umat yang sudah percaya, tetapi kalau dilihat injil Yohanes secara keseluruhan, injil ini lebih sebagai sebuah apologi, sehingga tentu ditujukan bagi para lawan debat; 2) bagi W. C. van Unnik, selain bab 13-17, injil Yohanes lebihsebagai sebuah buku misi untuk memenangkan para lawan menjadi pengikut Yesus;dan 3) bagi E. Renan, injil Yohanes ingin meyakinkan para lawan bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah. Dari beberapa pendapat, juga dengan penelitian yang mendalam atas teks Yohanes, Trites berkesimpulan bahwa injil Yohanes lebih berkarakter yuridis/hukum. Lebih tepatnya, motif ditulis injil Yohanes, yakni perdebatan antara Yesus dan orang Yahudi (iodaioi), bagi Trites merupakan suatu ‘perkara hukum’, yang mana terdapat dalam keseluruhan injil Yohanes.
Dalam bab 1-12, ada ‘persaingan’ (G. Johnston), juga ada ‘penolakan sungguh-sungguh’ (F. G. Burkit) dari para lawan. Karena itu, Trites mengatakan bahwa bagian ini menggunakan ‘bahasa kehakiman’ yang melukiskan pertentangan antara Allah Inkarnasi (Yesus) dan dunia (orang Yahudi-iodaioi) – mirip dengan Yes 40-55 yang menampilkan pertentangan antara YaHWeH dan allah bangsa kafir. Kemiripannya, yaitu ada persoalan yang diangkat, lalu dikembangkan argumennya, dengan tujuan menantang para lawan dengan cara menampilkan berbagai kesaksian. Namun, perbedaannya, yaitu dasar argumen orang Yahudi adalah hukum, sedangkan Yesus tampil dalam kesaksian Yohanes Pembaptis, Sabda dan karya-Nya, dan kesaksian Kitab Suci.
Terkait dengan kesaksian ini, penginjil Yohanes sangat menghormati hukum Perjanjian Lama tentang saksi yang valid (Ul 19:15), yaitu dua atau lebih orang saksi: misalnya dua kesaksian dari Yohanes Pembaptis dan para murid pertama (bab 1), tanda dengan dua saksi independen (bab 2), kesaksian Yohanes (bab 5), dan dua malaikat di kubur (bab 20). Penghormatan yang sangat terhadap kesahihan hukum PL ini mengindikasikan bahwa penginjil mempunyai persoalan/kekhawatiran terkait pembuktian. Bahkan deklarasi tentang diri Yesus punt tidak akan valid jika tanpa konfirmasi (5:31-32). Hal ini ditegaskan dalam 8:17, sekaligus membuktikan bahwa perkara di sini merupakan perkara hukum.
Klimaks dari perkara hukum ini adalah pengadilan di hadapan Pilatus (bab 18-19). Di sini terdapat paradoks, yakni kematian Yesus membuat dia menang atas perkara-Nya sekaligus mengalahkan dunia (bdk. 16:36). Yesus menang karena kematian-Nya (SAAT pemuliaan-Nya) menarik semua orang pada-Nya (bdk. 12:28,32).
Selanjutnya, bab 13-17 berbicara mengenai perkara hukum sesudah kebangkitan, yaitu berbicara tentang masa depan para rasul. Setelah pemuliaan dan pengagungan Kristus, perkara hukum berlanjut dengan pembenaran sabda dan karya-Nya, tetapi bukan Kristus sebagai saksi utama, melainkan Roh Kudus (Advocate), yang mana Ia juga memanggil penginjil dan saksi manusia lain, dengan dua peran, yaitu sekaligus sebagai saksi dan advokat. Roh Kudus disebut Parakleitos, yaitu istilah untuk menyebut pembela dalam pengadilan, yang bertugas meyakinkan lawan, sekaligus sebagai saksi yang berperan membuktikan kebenaran suatu kasus dengan fakta-fakta (bdk Yes 43:9).
Trites setuju dengan Peder Borgen yang melihat kesamaan ide penginjil tentang misi Kristus sebagai agen Allah dan agen halakhic, antara lain; 1) kesatuan antara agen dan pengutus; meskipun 2) agen lebih rendah; 3) ketaatan agen pada kehendak pengutus; 4) tugas agen dalam perkara hukum; 5) kepulangan dan laporan kembali pada pengutus; dan 6) memanggil agen lain sebagai perluasan misinya dalam ruang dan waktu. Trites menegaskan bahwa kesamaannya tampak dalam konteks perkara hukum, seperti dalam bab 20-21, yaitu tuntutan dan hukuman agen diterima dari superior. Perkara hukum ini secara eksplisit diungkapkan dalam pembicaraan tentang pengadilan Akhir Zaman (5:27), yaitu peran yuridis Kristus sebagai hakim: yang menolak firman Yesus, dihakimi oleh firman-Nya itu (12:48).
Singkatnya, mengutip ide J. C. Hindley, Trites mengatakan bahwa ketika Yesus berbicara mengenai asal-Nya, Dia tidak hanya menyingkapkan relasi-Nya dengan Bapa, tetapi juga Dia sedang menghadirkan suatu kebenaran sebagai tantangan untuk membuat putusan. Sabda-Nya bukan semata suatu pernyataan tegas, melainkan sekaligus berpengaruh eksistensial bagi mereka yang mendengarkan-Nya (8:46), yakni bertujuan mengubah onus probandi lawan.
Jadi, sampai di sini tampak jelas bahwa motif penginjil Yohanes menggunakan tata/perkara hukum dalam menyusun injilnya adalah agar kesaksiannya itu valid[2], sehingga para lawannya berhasil diyakinkan (convinced) bahwa Yesus-lah Mesias, Anak Allah. Dengan demikian mereka tidak lagi tinggal dalam kegelapan, tetapi dalam Terang (12:46).


[1] Allison A. Tirtes, The New Testament Concept of Witness, Cambridge University Press, USA 1997, 78-123.
[2] Nuansa ‘perkara hukum ini’ pun tampak dalam penggunaan diksi oleh penginjil, antara lain; ‘hakim’, ‘alasan’, ‘keputusan/pertimbangan’, ‘menuduh’, ‘menyalahkan’, ‘terdakwa’, dan ‘meyakinkan’.