Oleh Bernardus
Boli Ujan, SVD
Asas-asas
Gerakan ekumenis yang sebenarnya sudah muncul sebelum
konsili Vatikan II telah turut menginspirasi para bapa Konsili untuk
menyelenggarakan konsili dalam semangat ekumenis dan merumuskan dekrit Unitatis Redintegratio (UR) yang memberi
asas-asas untuk lebih mempromosikan gerakan pembaharuan ini sesudah Konsili
Vatikan II. Asas-asas gerakan ekumene menurut dekrit Unitatis Redintegratio yang dikeluarkan pada 21 Nopember 1964 oleh
bapa-bapa konsili antara lain menyadari
tujuan kedatangan Yesus Putera Tunggal Bapa dalam naungan Roh Kudus yaitu untuk
mewahyukan kesatuan dan kasih Allah Tritunggal kepada manusia (UR, 2) agar
bersama Yesus Kristus manusia bersatu dengan yang lain dan bersama-sama kembali
bersatu lebih erat dengan Allah Pencipta dan Penyelamat. Selanjutnya semua
pihak yang telibat dalam gerakan ekumene harus mengakui perpecahan sebagai
skandal lalu menyatakan penyesalan dan bertobat (UR, 1) sekaligus menyadari persatuan
sebagai kekuatan dalam upaya mewartakan dan memberi kesaksian tentang Kerajaan
Allah. Maka gerakan ekumene menuntut para pengikut Kristus rela dan berani menghindarkan
“penilaian dan perbuatan yang tidak sesuai dengan keadaan yang wajar dan benar”
dari saudara yang terpisah dan membuat dialog (UR, 4) dalam semangat kasih
sejati dengan saling menghargai, saling menerima perbedaan sebagai kekayaan
perspektif dan bukan sebagai dasar perpecahan satu dengan yang lain. Secara
praktis keterlibatan dalam gerakan ekumenis ini menuntut berbagai pihak yang
mengalami dan mewarisi perpecahan untuk bekerjasama dan saling membantu serta
saling melengkapi dalam kehidupan dan karya nyata.
Hasil Nyata: Konstitusi Liturgi
Khususnya dalam
bidang liturgi semangat saling membantu dan kerjasama untuk saling melengkapi
telah tampak dampaknya dalam rumusan konstitusi tentang liturgi kudus, Socrasanctum Concilium (SC). Konstitusi
liturgi telah menegaskan inti pokok misteri keselamatan yang mempersatukan
dalam setiap perayaan liturgi, yaitu misteri Paskah yang telah direncanakan
oleh Allah Bapa dan diwujudnyatakan oleh Yesus Kristus dengan penderitaan,
kematian dan kebangkitan-Nya demi kemuliaan Allah dan keselamatan semua makluk
ciptaan termasuk umat manusia (SC, 5). Sangat disadari juga pentingnya daya
pengudusan Allah Roh Kudus (SC, 43) serta peran Sabda Allah (SC, 24) yang
membarui dan mempersatukan semua orang. Deklarasi tentang Hari Raya Paskah
(Tambahan Deklarasi, 1-2) dan perayaan tahun liturgi (SC, 102-111), serta kasih
Allah Tritunggal yang dirayakan dalam ibadat, juga satu-satunya pengantara
Yesus Kristus dalamnya para kudus khususnya Perawan Maria Bunda Allah dan bunda
kita mengambil bagian, merupakan hasil nyata dari dialog penuh kasih yang
mempersatukan. Keterbukaan terhadap agama dan keyakinan non Kristiani serta
kerelaan membuat penyesuaian liturgi dengan tradisi budaya, keyakinan dan
situasi orang-orang setempat (SC, 37-40) adalah juga hasil dialog dengan
berbagai pihak yang turut memberi warna khas
kepada gerakan ekumenis dan liturgi sesudah konsili Vatikan II.
Kemungkinan-kemungkinan
Berdasarkan
pengalaman pastoral dan studi dalam pertemuan-pertemuan ekumenis sesudah
konsili Vatikan II, pada tahun 1967 dikeluarkan direktorium communicatio in sacris yang mengatur
kemungkinan-kemungkinan untuk mengalami dan menyaksikan kesatuan umat beriman
Kristiani (Gereja Katolik Roma, Gereja-gereja Timur, Protestan) melalui ibadat
dan perayaan sakrammen-sakramen. Khususnya dalam sakramen pembaptisan,
ekaristi, perkawinan, pengurapan orang sakit dan ibadat umum diuraikan apa saja
yang dapat dilakukan bersama dan apa saja yang perlu dihindarkan. (P.
Tamburrino, “Ecumenismo” dalam Nuovo
Dizionario di Liturgia, a cura di Domenico Srtore e Achille M.Triacca,
edizioni Paoline, Roma, 1984, hlm. 418-427).
Contoh Para Paus
Paus Paulus VI
melaksanakan pesan-pesan konsili antara lain dengan membina hubungan yang baik
penuh penghargaan dan saling pengertian di antara Gereja Katolik dan saudara
saudari dari Gereja Timur. Saling mengunjungi dan berada di tempat ibadat dari
Gereja Timur serta memanjatkan doa bagi pimpinan dan umat Gereja tersebut atau
sebaliknya telah menunjukkan itikad baik untuk saling meneguhkan dalam ziarah
menuju sumber dan pusat pemersatu semua umat beriman yaitu Yesus Kristus Putra Tunggal Allah Bapa
dalam persatuan dengan Roh Kudus. Semangat yang sama diteruskan dan ditumbuhkan
oleh Paus Yohanes Paulus II yang banyak sekali membuat kunjungan pastoral dan
ekumenis ke seluruh dunia. Paus Benedictus XVI dan Paus Fransiskus turut
berperan aktif menumbuhkan semangat ekumenis di antara saudara saudari yang
beriman dalam Tritunggal maha kudus.
Semua Paus pasca
Vatikan II mendukung gerakan “pekan doa bagi persatuan semua umat beriman”,
yang sudah dimulai pada awal abad 20, baik dalam persiapan maupun dalam pelaksanaannya
selama sepekan dari tanggal 18 Januari sampai 25 Januari setiap tahun. Utusan
dari berbagai Gereja bekerjasama mempersiapkan teks doa untuk
persatuan-persaudaraan umat beriman dengan tema dan ujud-ujud sesuai konteks.
Bahan doa ini tidak hanya dipakai pada pekan doa sedunia (18-25 Januari) tetapi
dapat pula dipakai di luar masa itu.
Kesaksian Societas Liturgica
Salah satu gerakan
ekumenis dalam liturgi dimulai oleh seorang pendeta bernama Wiebe Vos dari Belanda.
Ia mewujudkan impiannya agar para liturgist kristiani (Protestan, Anglikan,
Gereja Katolik, Gereja-gereja Timur) membentuk satu paguyuban untuk bekerjasama
membuat penelitian dan studi demi mengembangkan liturgi sebagai kesempatan
untuk mengungkapkan dan membina serta mendoakan persatuan umat beriman. Wiebe
Vos ketika masih berumur 26 tahun, telah bercita-cita membentuk kerjasama para
liturgist lintas agama-denominasi sebagaimana tampak dalam isi surat yang
ditulis dan dikirim kepada para profesor liturgi ternama waktu itu di Amerika
dan Eropa. Maka dalam kerjasama dengan para profesor itu terbitlah untuk
pertama kali pada 1962, di tengah konsili ekumenis Vatikan II, majalah Studia
Liturgica yang berisi artikel-artikel tentang liturgi sebagai hasil studi dan
penelitian mereka.
Akhirnya pada
tahun 1967 dibuatlah kongres para liturgist untuk pertama kali di Driebergen
(Belanda) dan dibentuk paguyuban dengan nama Societas Liturgica. Badan
pengurusnya terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara dan anggota-anggota
dewan. Tugas Badan Pengurus adalah merencanakan dan menyelenggarakan kongres
setiap dua tahun. Anggota Societas Liturgica pada tahun-tahun terakhir sekitar
350-400 orang. Biasanya dalam Kongres mereka
berpartisipasi aktip dengan menyampaikan ceramah utama bagi semua peserta atau
mempresentasikan dalam kelompok hasil penelitian tentang topik tertentu yang
berkaitan dengan tema umum dari Kongres. Keragaman cara pendekatan dan
pengalaman-pengalaman khas dalam setiap Agama-denominasi dengan latarbelakang
konteks yang unik turut membantu memperluas wawasan peserta Kongres untuk
semakin memahami dan menghargai satu sama lain.
Beberapa tema yang
digeluti selama decade terakhir dalam Kongres ekumenis Societas Liturgica adalah
Liturgi yang Menyembuhkan (Dresden, Jerman 2005), Liturgi di Tempat Umum
(Palermo, Italia 2007), Inkulturasi Tahun Liturgi (Sydney, Australia 2009),
Liturgi Inisiasi (Rheims, Perancis 2011), Pembaruan Liturgi (Wuerzburg, Jerman
2013, sambil mengenangkan 50 tahun konstitusi liturgi Sacrosanctum Concilium), Pendidikan
Liturgi (Quebec, Kanada 2015 untuk merayakan 25 tahun Kongres Societas
Liturgica). Dalam Kongres terakhir bulan Agutus 2017 di Leuven, anggota
Societas Liturgica mengenangkan 500 tahun pembaruan Gereja oleh Martin Luther sekaligus
merayakan 50 tahun berdirinya Societas Liturgica. Pada kesempatan itu para
peserta mendalami dan mendiskusikan tema: Simbol tentang Diri Kita, Perspektif
Liturgis dari Sakramen. Selama 6 hari (07-12 Agustus) diberikan 6 ceramah utama
untuk umum dan 72 presentasi topik penelitian khusus dalam kelompok. Peserta
dari Indonesia membawakan hasil penelitian khusus dalam salah satu kelompok di
bawah judul: Simbol-simbol Rekonsiliasi Inkulturatif di Indonesia. Inillah
salah satu cara mencapai tujuan Societas Liturgica sedunia yang ekumenis
sebagaimana dihimbau oleh pimpinan umum Societas Liturgica periode 2015-2017,
Martin Stuflesser, dalam sambutan awal Kongres, yaitu membangun dialog tentang
pemahaman dan praktek liturgi di antara berbagai penganut Agama-denominasi
dalam semangat ekumenis dan kasih persaudaraan.
Dokumen Lima
Pada tahun 1982 di
Lima, Peru dibuat pertemuan ekumenis komisi Faith
and Order dari World Council of Churches (WCC) yang menghasilkan dokumen
tentang Pembaptisan, Ekaristi dan Pelayanan yang disebut “Naskah Lima”. Naskah
ini merupakan hasil diskusi lintas Agama-denominasi selama 50 tahun. Rumusannya
memperlihatkan pemahaman yang disepakati bersama tentang Pembaptisan, Ekaristi
dan Pelayanan. Komisi Faith and Order
dari WCC menyebarkan “Naskah Lima” ini dan mengharapkkan tanggapan resmi dari
masing-masing Gereja-denominasi. Sejauh mana tiap Gereja-denominasi mengenal
pokok-pokok iman yang ada dalam sejarah tumbuh-kembangnya dan konsekuensinya
dalam dialog dengan Gereja-denominasi lain yang mengakui ungkapan iman dalam
naskah ini sebagai kebenaran iman rasuli yang akhirnya menjadi bahan untuk
menyusun ibadat, pembinaan, etika dan hidup rohani serta kesaksian iman. Diharapkan
usul saran resmi dari masing-masing Gereja-denominasi untuk kerja Komisi Faith and Order ke depan dalam menyusun
satu ungkapan bersama dewasa ini dari iman rasuli.
Semua
Gereja-denominasi yang menerima “Naskah Lima” mengakui pembaptisan sebagai
sakramen yang mempersatukan para pengikut Yesus Kristus, karena memiliki
pemahaman makna pembaptisan dan tata perayaan pembaptisan yang kurang lebih
sama, terutama tentang hal-hal pokok yang menjamin sahnya pembaptisan. Karena
itu ada kesepakatan untuk saling mengakui sahnya pembaptisan Gereja-denominasi
yang lain. Kesepakatan tentang Ekarisi berkaitan dengan pembentukan Ekaristi,
maknanya dan tata perayaan serta unsur-unsurnya.
Ekaristi
merupakan perayaan syukur kepada Bapa, kenangan akan Kristus, doa memohon
turunnya Allah Roh Kudus, perjamuan kerajaan serta komuni kaum beriman. Ada
juga kesepakatan tentang pelayanan (kepemimpinan) dalam Gereja-denominasi, yaitu mengenai makna kepemimpinan apostolik
berdasarkan tradisi apostolik, bentuk dan tugas-wewenangnya, tahbisan serta
kemungkinan pengakuan satu sama lain terhadap kepemimpinan yang ada.
Dokumen
Lima ini menunjukkan kesungguhan upaya masing-masing Gereja-denominasi untuk
menemukan pokok-pokok paham yang sama dan menyelaraskan satu dengan yang lain
seraya menerima perbedaan-perbedaan paham dan praktek yang ada sebagai
unsur-unsur khusus yang saling memperkaya. Dengan demikian persatuan lebih
diutamakan demi berhasilnya pewartaan Kabar Gembira dan semakin terwujudnya
Kerajaan Allah.
Upaya Gereja-denominasi di
Indonnesia
Patut
kita syukuri upaya-upaya Gereja-denominasi di Indonesia dalam memajukan gerakan
ekumenis khususnya dalam bidang ibadat-liturgi. Perlu kita catat misalnya
kerjasama ekumenis antara KWI dan PGI dalam menyusun pesan Natal bersama setiap
tahun yang disebarkan ke semua Gereja-denominasi sebelum perayaan Natal yang
mendorong kerjasama umat beriman demi persatuan persaudaraan. Persiapan dan
penyelenggaraan perayaan Natal ekumenis turut memberi kesaksian yang kuat di
bumi Indonesia tentang semangat persatuan persaudaraan dalam keanekaan dan cinta
damai serta toleransi di tengah situasi dendam-benci penuh ancaman radikalisme
eklusif. Secara khusus selama pekan doa sedunia pada tgl 18-25 Januari setiap
tahun banyak kelompok umat di Indonesia terlibat aktif dalam doa untuk
persatuan umat beriman. Tampak juga kerjasama dalam bidang pewartaan antara
lain dengan pertukaran para pengkotbah, penyebaran bahan dan isi pewartaan
melalui percetakan, mass media dan medsos, penyelenggaraan seminar bersama
untuk mendalami topik-topik yang berkaitan dengan agama dan iman.
Di
tingkat akar rumput terjadi kerja sama nyata dalam
membangun tempat ibadat masing-masing Gereja-denominasi bahkan di wilayah
tertentu ada kerjasama membangun gedung ibadat ekumenis yang dapat digunakan oleh
kelompok umat berbeda satu sesudah yang lain. Demi menjamin kelanjutan gerakan
ekumenis, di banyak tempat kita alami besarnya perhatian pada kelompok umat
yang masih muda dan kecil dengan memperluas wawasan mereka dan memupuk saling
pengertian melalui pertukaran para dosen dan mahasiswa atau guru dan siswa. Ada
juga penyelenggaraan pengajaran dan pendidikan bersama-sama di universitas,
sekolah tinggi, sekolah menengah dan sekolah dasar yang sama dengan tujuan
membina sikap terbuka dan saling menghargai perbedaan seraya mengusahakan
bersama persatuan persaudaraan sejak usia dini.
Ibadat
ekumenis mendorong umat Kristiani untuk bekerjsama dalam pelayanan-pengabdian
di tengah masyarakat demi kepentingan umum: keamanan dan ketertiban, kerja
bakti untuk kelestarian lingkungan hidup, olah raga, rekreasi bersama. Khususnya
kerjasama untuk melayani dan membantu kelompok-kelompok yang terpinggirkan,
seperti orang sakit, para jompo, narapidana, orang yang berkebutuhan khusus,
kaum miskin dan yang menderita ketidakadilan atau yang lain. Kerja sama seperti
ini mengarahkan perhatian umat beriman lebih kepada hal-hal dan kesempatan yang
mempersatukan seraya yakin akan keselamatan yang dianugerahkan Allah kepada
semua orang baik untuk sementara selama hidup di dunia ini maupun untuk
selamanya di akhirat nanti.
Doa Bersama Lintas Agama dan Doa
Multi-Agama
Dalam
kesempatan ibadat yang dihadiri oleh penganut berbagai agama, Dewan Kepausan
untuk Dialog Antarumat Beragama (DKDAB) memberikan pedoman yang perlu
diperhatikan dalam menyelenggarakan doa ekumenis. Dalam hal ini harus dibedakan
“doa bersama lintas agama” dan “doa multi-agama”. Istilah yang pertama, “doa
bersama lintas agama” artinya “terlibat bersama-sama di dalam sebuah doa yang
dihadiri oleh umat dari berbagai agama”. Kemungkinan pertama ini perlu dihindari
menurut DKDAB dalam pedoman Dialog Dalam
Kebenaran dan Kasih, no. 82. Tuntutan utama untuk terlibat dalam doa
bersama adalah iman yang sama akan Allah. Hal ini tak terpenuhi kalau para
pemeluk masing-masing agama mempunyai keyakinan iman yang berbeda tentang
Allah.
Dalam kesempatan ibadat bersama dapat
diselenggarakan kemungkinan kedua yaitu “doa multi-agama” yang berarti “para
penganut berbagai agama berkumpul bersama untuk berdoa bersama-sama bagi sebuah
intensi khusus … doa ini menekankan aspek kehadiran selama doa berlangsung,
tetapi bukan untuk berdoa bersama-sama” (Dialog
Dalam Kebenaran dan Kasih, no. 83). Hal ini telah ditegaskan oleh Paus
Yohanes Paulus II setelah para pemimpin agama-agama di dunia bertemu dan
berdialog di Assisi 1986, katanya: “Tentu saja kita tidak bisa ‘berdoa
bersama’, yang berarti terlibat aktif di dalam sebuah doa bersama lintas agama,
akan tetapi kita bisa menghadiri kegiatan doa dari pemeluk-pemeluk agama lain.
Melalui cara ini kita mengungkapkan rasa hormat kita terhadap doa umat beragama
lain, dan terhadap tata cara mereka berdoa di hadapan Yang Ilahi. Pada saat
yang sama kita juga memberikan sebuah kesaksian yang sahaja dan jujur kepada
mereka tentang iman kita akan Kristus, Tuhan semesta alam.” (John Paul II, General Audience, 22 October 1986).