Acces2

accestrade

https://atid.me/001kbs00267l

Fiverr

https://go.fiverr.com/visit/?bta=771663&brand=fiverraffiliates

Friday 9 June 2023

GERAKAN EKUMENIS DI BIDANG LITURGI SESUDAH KONSILI VATIKAN II

 Oleh Bernardus Boli Ujan, SVD


Asas-asas

Gerakan  ekumenis yang sebenarnya sudah muncul sebelum konsili Vatikan II telah turut menginspirasi para bapa Konsili untuk menyelenggarakan konsili dalam semangat ekumenis dan merumuskan dekrit Unitatis Redintegratio (UR) yang memberi asas-asas untuk lebih mempromosikan gerakan pembaharuan ini sesudah Konsili Vatikan II. Asas-asas gerakan ekumene menurut dekrit Unitatis Redintegratio yang dikeluarkan pada 21 Nopember 1964 oleh bapa-bapa  konsili antara lain menyadari tujuan kedatangan Yesus Putera Tunggal Bapa dalam naungan Roh Kudus yaitu untuk mewahyukan kesatuan dan kasih Allah Tritunggal kepada manusia (UR, 2) agar bersama Yesus Kristus manusia bersatu dengan yang lain dan bersama-sama kembali bersatu lebih erat dengan Allah Pencipta dan Penyelamat. Selanjutnya semua pihak yang telibat dalam gerakan ekumene harus mengakui perpecahan sebagai skandal lalu menyatakan penyesalan dan bertobat (UR, 1) sekaligus menyadari persatuan sebagai kekuatan dalam upaya mewartakan dan memberi kesaksian tentang Kerajaan Allah. Maka gerakan ekumene menuntut para pengikut Kristus rela dan berani menghindarkan “penilaian dan perbuatan yang tidak sesuai dengan keadaan yang wajar dan benar” dari saudara yang terpisah dan membuat dialog (UR, 4) dalam semangat kasih sejati dengan saling menghargai, saling menerima perbedaan sebagai kekayaan perspektif dan bukan sebagai dasar perpecahan satu dengan yang lain. Secara praktis keterlibatan dalam gerakan ekumenis ini menuntut berbagai pihak yang mengalami dan mewarisi perpecahan untuk bekerjasama dan saling membantu serta saling melengkapi dalam kehidupan dan karya nyata.


Hasil Nyata: Konstitusi Liturgi

Khususnya dalam bidang liturgi semangat saling membantu dan kerjasama untuk saling melengkapi telah tampak dampaknya dalam rumusan konstitusi tentang liturgi kudus, Socrasanctum Concilium (SC). Konstitusi liturgi telah menegaskan inti pokok misteri keselamatan yang mempersatukan dalam setiap perayaan liturgi, yaitu misteri Paskah yang telah direncanakan oleh Allah Bapa dan diwujudnyatakan oleh Yesus Kristus dengan penderitaan, kematian dan kebangkitan-Nya demi kemuliaan Allah dan keselamatan semua makluk ciptaan termasuk umat manusia (SC, 5). Sangat disadari juga pentingnya daya pengudusan Allah Roh Kudus (SC, 43) serta peran Sabda Allah (SC, 24) yang membarui dan mempersatukan semua orang. Deklarasi tentang Hari Raya Paskah (Tambahan Deklarasi, 1-2) dan perayaan tahun liturgi (SC, 102-111), serta kasih Allah Tritunggal yang dirayakan dalam ibadat, juga satu-satunya pengantara Yesus Kristus dalamnya para kudus khususnya Perawan Maria Bunda Allah dan bunda kita mengambil bagian, merupakan hasil nyata dari dialog penuh kasih yang mempersatukan. Keterbukaan terhadap agama dan keyakinan non Kristiani serta kerelaan membuat penyesuaian liturgi dengan tradisi budaya, keyakinan dan situasi orang-orang setempat (SC, 37-40) adalah juga hasil dialog dengan berbagai pihak yang turut memberi warna khas  kepada gerakan ekumenis dan liturgi sesudah konsili Vatikan II.

Kemungkinan-kemungkinan

Berdasarkan pengalaman pastoral dan studi dalam pertemuan-pertemuan ekumenis sesudah konsili Vatikan II, pada tahun 1967 dikeluarkan direktorium communicatio in sacris yang mengatur kemungkinan-kemungkinan untuk mengalami dan menyaksikan kesatuan umat beriman Kristiani (Gereja Katolik Roma, Gereja-gereja Timur, Protestan) melalui ibadat dan perayaan sakrammen-sakramen. Khususnya dalam sakramen pembaptisan, ekaristi, perkawinan, pengurapan orang sakit dan ibadat umum diuraikan apa saja yang dapat dilakukan bersama dan apa saja yang perlu dihindarkan. (P. Tamburrino, “Ecumenismo” dalam Nuovo Dizionario di Liturgia, a cura di Domenico Srtore e Achille M.Triacca, edizioni Paoline, Roma, 1984, hlm. 418-427).


Contoh Para Paus

Paus Paulus VI melaksanakan pesan-pesan konsili antara lain dengan membina hubungan yang baik penuh penghargaan dan saling pengertian di antara Gereja Katolik dan saudara saudari dari Gereja Timur. Saling mengunjungi dan berada di tempat ibadat dari Gereja Timur serta memanjatkan doa bagi pimpinan dan umat Gereja tersebut atau sebaliknya telah menunjukkan itikad baik untuk saling meneguhkan dalam ziarah menuju sumber dan pusat pemersatu semua umat beriman  yaitu Yesus Kristus Putra Tunggal Allah Bapa dalam persatuan dengan Roh Kudus. Semangat yang sama diteruskan dan ditumbuhkan oleh Paus Yohanes Paulus II yang banyak sekali membuat kunjungan pastoral dan ekumenis ke seluruh dunia. Paus Benedictus XVI dan Paus Fransiskus turut berperan aktif menumbuhkan semangat ekumenis di antara saudara saudari yang beriman dalam Tritunggal maha kudus.

Semua Paus pasca Vatikan II mendukung gerakan “pekan doa bagi persatuan semua umat beriman”, yang sudah dimulai pada awal abad 20, baik dalam persiapan maupun dalam pelaksanaannya selama sepekan dari tanggal 18 Januari sampai 25 Januari setiap tahun. Utusan dari berbagai Gereja bekerjasama mempersiapkan teks doa untuk persatuan-persaudaraan umat beriman dengan tema dan ujud-ujud sesuai konteks. Bahan doa ini tidak hanya dipakai pada pekan doa sedunia (18-25 Januari) tetapi dapat pula dipakai di luar masa itu.


Kesaksian Societas Liturgica

Salah satu gerakan ekumenis dalam liturgi dimulai oleh seorang pendeta bernama Wiebe Vos dari Belanda. Ia mewujudkan impiannya agar para liturgist kristiani (Protestan, Anglikan, Gereja Katolik, Gereja-gereja Timur) membentuk satu paguyuban untuk bekerjasama membuat penelitian dan studi demi mengembangkan liturgi sebagai kesempatan untuk mengungkapkan dan membina serta mendoakan persatuan umat beriman. Wiebe Vos ketika masih berumur 26 tahun, telah bercita-cita membentuk kerjasama para liturgist lintas agama-denominasi sebagaimana tampak dalam isi surat yang ditulis dan dikirim kepada para profesor liturgi ternama waktu itu di Amerika dan Eropa. Maka dalam kerjasama dengan para profesor itu terbitlah untuk pertama kali pada 1962, di tengah konsili ekumenis Vatikan II, majalah Studia Liturgica yang berisi artikel-artikel tentang liturgi sebagai hasil studi dan penelitian mereka.

Akhirnya pada tahun 1967 dibuatlah kongres para liturgist untuk pertama kali di Driebergen (Belanda) dan dibentuk paguyuban dengan nama Societas Liturgica. Badan pengurusnya terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara dan anggota-anggota dewan. Tugas Badan Pengurus adalah merencanakan dan menyelenggarakan kongres setiap dua tahun. Anggota Societas Liturgica pada tahun-tahun terakhir sekitar 350-400 orang. Biasanya dalam Kongres  mereka berpartisipasi aktip dengan menyampaikan ceramah utama bagi semua peserta atau mempresentasikan dalam kelompok hasil penelitian tentang topik tertentu yang berkaitan dengan tema umum dari Kongres. Keragaman cara pendekatan dan pengalaman-pengalaman khas dalam setiap Agama-denominasi dengan latarbelakang konteks yang unik turut membantu memperluas wawasan peserta Kongres untuk semakin memahami dan menghargai satu sama lain.

Beberapa tema yang digeluti selama decade terakhir dalam Kongres ekumenis Societas Liturgica adalah Liturgi yang Menyembuhkan (Dresden, Jerman 2005), Liturgi di Tempat Umum (Palermo, Italia 2007), Inkulturasi Tahun Liturgi (Sydney, Australia 2009), Liturgi Inisiasi (Rheims, Perancis 2011), Pembaruan Liturgi (Wuerzburg, Jerman 2013, sambil mengenangkan 50 tahun konstitusi liturgi Sacrosanctum Concilium), Pendidikan Liturgi (Quebec, Kanada 2015 untuk merayakan 25 tahun Kongres Societas Liturgica). Dalam Kongres terakhir bulan Agutus 2017 di Leuven, anggota Societas Liturgica mengenangkan 500 tahun pembaruan Gereja oleh Martin Luther sekaligus merayakan 50 tahun berdirinya Societas Liturgica. Pada kesempatan itu para peserta mendalami dan mendiskusikan tema: Simbol tentang Diri Kita, Perspektif Liturgis dari Sakramen. Selama 6 hari (07-12 Agustus) diberikan 6 ceramah utama untuk umum dan 72 presentasi topik penelitian khusus dalam kelompok. Peserta dari Indonesia membawakan hasil penelitian khusus dalam salah satu kelompok di bawah judul: Simbol-simbol Rekonsiliasi Inkulturatif di Indonesia. Inillah salah satu cara mencapai tujuan Societas Liturgica sedunia yang ekumenis sebagaimana dihimbau oleh pimpinan umum Societas Liturgica periode 2015-2017, Martin Stuflesser, dalam sambutan awal Kongres, yaitu membangun dialog tentang pemahaman dan praktek liturgi di antara berbagai penganut Agama-denominasi dalam semangat ekumenis dan kasih persaudaraan.

Dokumen Lima

Pada tahun 1982 di Lima, Peru dibuat pertemuan ekumenis komisi Faith and Order dari World Council of Churches (WCC) yang menghasilkan dokumen tentang Pembaptisan, Ekaristi dan Pelayanan yang disebut “Naskah Lima”. Naskah ini merupakan hasil diskusi lintas Agama-denominasi selama 50 tahun. Rumusannya memperlihatkan pemahaman yang disepakati bersama tentang Pembaptisan, Ekaristi dan Pelayanan. Komisi Faith and Order dari WCC menyebarkan “Naskah Lima” ini dan mengharapkkan tanggapan resmi dari masing-masing Gereja-denominasi. Sejauh mana tiap Gereja-denominasi mengenal pokok-pokok iman yang ada dalam sejarah tumbuh-kembangnya dan konsekuensinya dalam dialog dengan Gereja-denominasi lain yang mengakui ungkapan iman dalam naskah ini sebagai kebenaran iman rasuli yang akhirnya menjadi bahan untuk menyusun ibadat, pembinaan, etika dan hidup rohani serta kesaksian iman. Diharapkan usul saran resmi dari masing-masing Gereja-denominasi untuk kerja Komisi Faith and Order ke depan dalam menyusun satu ungkapan bersama dewasa ini dari iman rasuli.          

Semua Gereja-denominasi yang menerima “Naskah Lima” mengakui pembaptisan sebagai sakramen yang mempersatukan para pengikut Yesus Kristus, karena memiliki pemahaman makna pembaptisan dan tata perayaan pembaptisan yang kurang lebih sama, terutama tentang hal-hal pokok yang menjamin sahnya pembaptisan. Karena itu ada kesepakatan untuk saling mengakui sahnya pembaptisan Gereja-denominasi yang lain. Kesepakatan tentang Ekarisi berkaitan dengan pembentukan Ekaristi, maknanya dan tata perayaan serta unsur-unsurnya.

Ekaristi merupakan perayaan syukur kepada Bapa, kenangan akan Kristus, doa memohon turunnya Allah Roh Kudus, perjamuan kerajaan serta komuni kaum beriman. Ada juga kesepakatan tentang pelayanan (kepemimpinan) dalam Gereja-denominasi,  yaitu mengenai makna kepemimpinan apostolik berdasarkan tradisi apostolik, bentuk dan tugas-wewenangnya, tahbisan serta kemungkinan pengakuan satu sama lain terhadap kepemimpinan yang ada.

Dokumen Lima ini menunjukkan kesungguhan upaya masing-masing Gereja-denominasi untuk menemukan pokok-pokok paham yang sama dan menyelaraskan satu dengan yang lain seraya menerima perbedaan-perbedaan paham dan praktek yang ada sebagai unsur-unsur khusus yang saling memperkaya. Dengan demikian persatuan lebih diutamakan demi berhasilnya pewartaan Kabar Gembira dan semakin terwujudnya Kerajaan Allah.  

Upaya Gereja-denominasi di Indonnesia

Patut kita syukuri upaya-upaya Gereja-denominasi di Indonesia dalam memajukan gerakan ekumenis khususnya dalam bidang ibadat-liturgi. Perlu kita catat misalnya kerjasama ekumenis antara KWI dan PGI dalam menyusun pesan Natal bersama setiap tahun yang disebarkan ke semua Gereja-denominasi sebelum perayaan Natal yang mendorong kerjasama umat beriman demi persatuan persaudaraan. Persiapan dan penyelenggaraan perayaan Natal ekumenis turut memberi kesaksian yang kuat di bumi Indonesia tentang semangat persatuan persaudaraan dalam keanekaan dan cinta damai serta toleransi di tengah situasi dendam-benci penuh ancaman radikalisme eklusif. Secara khusus selama pekan doa sedunia pada tgl 18-25 Januari setiap tahun banyak kelompok umat di Indonesia terlibat aktif dalam doa untuk persatuan umat beriman. Tampak juga kerjasama dalam bidang pewartaan antara lain dengan pertukaran para pengkotbah, penyebaran bahan dan isi pewartaan melalui percetakan, mass media dan medsos, penyelenggaraan seminar bersama untuk mendalami topik-topik yang berkaitan dengan agama dan iman.

Di tingkat akar rumput terjadi kerja sama nyata dalam membangun tempat ibadat masing-masing Gereja-denominasi bahkan di wilayah tertentu ada kerjasama membangun gedung ibadat ekumenis yang dapat digunakan oleh kelompok umat berbeda satu sesudah yang lain. Demi menjamin kelanjutan gerakan ekumenis, di banyak tempat kita alami besarnya perhatian pada kelompok umat yang masih muda dan kecil dengan memperluas wawasan mereka dan memupuk saling pengertian melalui pertukaran para dosen dan mahasiswa atau guru dan siswa. Ada juga penyelenggaraan pengajaran dan pendidikan bersama-sama di universitas, sekolah tinggi, sekolah menengah dan sekolah dasar yang sama dengan tujuan membina sikap terbuka dan saling menghargai perbedaan seraya mengusahakan bersama persatuan persaudaraan sejak usia dini.

Ibadat ekumenis mendorong umat Kristiani untuk bekerjsama dalam pelayanan-pengabdian di tengah masyarakat demi kepentingan umum: keamanan dan ketertiban, kerja bakti untuk kelestarian lingkungan hidup, olah raga, rekreasi bersama. Khususnya kerjasama untuk melayani dan membantu kelompok-kelompok yang terpinggirkan, seperti orang sakit, para jompo, narapidana, orang yang berkebutuhan khusus, kaum miskin dan yang menderita ketidakadilan atau yang lain. Kerja sama seperti ini mengarahkan perhatian umat beriman lebih kepada hal-hal dan kesempatan yang mempersatukan seraya yakin akan keselamatan yang dianugerahkan Allah kepada semua orang baik untuk sementara selama hidup di dunia ini maupun untuk selamanya di akhirat nanti.   

Doa Bersama Lintas Agama dan Doa Multi-Agama

Dalam kesempatan ibadat yang dihadiri oleh penganut berbagai agama, Dewan Kepausan untuk Dialog Antarumat Beragama (DKDAB) memberikan pedoman yang perlu diperhatikan dalam menyelenggarakan doa ekumenis. Dalam hal ini harus dibedakan “doa bersama lintas agama” dan “doa multi-agama”. Istilah yang pertama, “doa bersama lintas agama” artinya “terlibat bersama-sama di dalam sebuah doa yang dihadiri oleh umat dari berbagai agama”. Kemungkinan pertama ini perlu dihindari menurut DKDAB dalam pedoman Dialog Dalam Kebenaran dan Kasih, no. 82. Tuntutan utama untuk terlibat dalam doa bersama adalah iman yang sama akan Allah. Hal ini tak terpenuhi kalau para pemeluk masing-masing agama mempunyai keyakinan iman yang berbeda tentang Allah.

 

Dalam kesempatan ibadat bersama dapat diselenggarakan kemungkinan kedua yaitu “doa multi-agama” yang berarti “para penganut berbagai agama berkumpul bersama untuk berdoa bersama-sama bagi sebuah intensi khusus … doa ini menekankan aspek kehadiran selama doa berlangsung, tetapi bukan untuk berdoa bersama-sama” (Dialog Dalam Kebenaran dan Kasih, no. 83). Hal ini telah ditegaskan oleh Paus Yohanes Paulus II setelah para pemimpin agama-agama di dunia bertemu dan berdialog di Assisi 1986, katanya: “Tentu saja kita tidak bisa ‘berdoa bersama’, yang berarti terlibat aktif di dalam sebuah doa bersama lintas agama, akan tetapi kita bisa menghadiri kegiatan doa dari pemeluk-pemeluk agama lain. Melalui cara ini kita mengungkapkan rasa hormat kita terhadap doa umat beragama lain, dan terhadap tata cara mereka berdoa di hadapan Yang Ilahi. Pada saat yang sama kita juga memberikan sebuah kesaksian yang sahaja dan jujur kepada mereka tentang iman kita akan Kristus, Tuhan semesta alam.” (John Paul II, General Audience, 22 October 1986).