Anak
adalah sumber kebahagiaan dalam keluarga. Ketika ia hadir di dunia ini banyak
orang menyambutnya dengan gembira, penuh canda- tawa, nyayian, dan sebagainya.
Setiap orang tua pasti ingin anaknya menjadi baik dan berguna di kemudian hari.
Maka yang mereka lakukan ialah mendidiknya dengan baik. Akan tetapi, ada pula
orang tua yang “keliru” mendidik anaknya. Mereka terlalu memproteksi anaknya
dari hal-hal yang biasa dan akan mereka alami di kemudian hari. Contoh: ketika
seorang balita melihat kembang api dan ingin memegangnya, orang tuanya akan
segera menjauhkannya darinya. Mereka takut ia terbakar. Akibatnya, anak itu
tidak akan tahu kembang api itu apa ? demikian pun dengan tingkah laku anak
lainnya.
Nampaknya
kesadaran sosial perlu dibangun sejak dini. Kita terbiasa memproteksi diri kita
dari hal-hal luar biasa. Akibatnya, kepekaan sosial kita lemah. Kita kurang
mendapat informasi dan tidak tahu harus berbuat apa dalam hidup bersosial.
Kita lebih senang membangun pagar tinggi
di halaman rumah kita, tetapi kita tidak tahu kalau tetangga kita sedang
berduka, dsb. Kita baru akan menyadarinya di kemudian hari. Nah, murid-murid
dalam injil hari ini pun demikian. Mereka baru menyadari bahwa Yesus selama ini
sering memakai bahasa kiasan dan pada akhirnya Ia meninggalkannya. Kini mereka
sadar bahwa Yesus mengetahui segala sesuatu dan mereka semakin percaya. Sadar
dan percaya menjadi kunci bagi kita dalam membangun sebuah relasi baik dengan
sesame maupun dengan Tuhan.